Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat

6 days ago 11

Oleh: Reo Chandrika

Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh berbagai suku, seperti Minangkabau, Mandailing, Batak, dan Jawa, yang telah hidup berdampingan selama bertahun-tahun.

Harmoni yang tercipta di antara masyarakat ini mencerminkan suatu bentuk asimilasi yang sangat unik dan romantis, yang kemudian menciptakan identitas khas bagi Pasaman Barat. Sebelum lebih jauh membahas fenomena yang ada di Pasaman Barat, kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu Romantisme dan Asimilasi.

Romantisme adalah aliran dalam seni, sastra, dan filsafat abad 18 hingga 19 Masehi yang menekankan perasaan, emosi, dan subjektivitas dalam menghadapi realitas. Dalam makna lain, sifat romantis merujuk pada suasana yang membangkitkan perasaan kasih sayang dan penghargaan yang mendalam terhadap sesuatu.

Sementara itu, asimilasi adalah proses penyesuaian antara sifat atau budaya yang dimiliki dengan lingkungan sekitar, sehingga tercipta keserasian. Dalam konteks sosial, asimilasi merujuk pada penyesuaian atau peleburan kebudayaan dari dua atau lebih kelompok manusia yang berbeda untuk menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Di Pasaman Barat, romantisme asimilasi merujuk pada proses integrasi budaya yang terjadi dalam masyarakat, yang juga melibatkan kenangan kolektif dan kebersamaan antar kelompok etnis yang ada.

Asimilasi di daerah ini bukan hanya soal akulturasi budaya, melainkan juga berhubungan dengan cara hidup yang harmonis, saling menerima, dan menghargai perbedaan. Salah satu contoh nyata dari asimilasi ini terlihat dalam adat istiadat.

Misalnya, adat Minangkabau yang bersifat matrilineal dan menganut sistem kekerabatan ibu, berbaur dengan budaya Jawa, Batak, dan Mandailing yang menganut sistem kekerabatan patrilineal (berdasarkan garis keturunan bapak). Meskipun sistem kekerabatan yang mereka anut berbeda, kedua kelompok ini mampu menjalani kehidupan secara harmonis dengan saling menghormati prinsip masing-masing.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Pasaman Barat terkenal dengan nilai-nilai kebersamaan dan saling tolong-menolong. Setiap kelompok etnis tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga saling mendukung, terutama dalam kegiatan yang bersifat gotong royong. Hal ini menunjukkan bahwa asimilasi telah menjadi landasan untuk hidup harmonis di tengah masyarakat yang beragam.

Keberagaman ini juga memperkaya kuliner khas Pasaman Barat. Masyarakat setempat sering berbagi makanan dari berbagai tradisi kuliner etnis yang berbeda. Makanan khas Minangkabau, Mandailing, Batak, hingga Jawa menjadi bagian dari keseharian masyarakat dan dinikmati bersama sebagai bentuk saling menghormati dan mengapresiasi kekayaan budaya masing-masing.

Romantisme asimilasi di Pasaman Barat juga terasa dalam bidang seni. Kesenian daerah, seperti tari-tarian dan musik tradisional, sering kali menampilkan elemen dari berbagai budaya yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian tidak lagi menjadi milik satu etnis tertentu, melainkan menjadi milik bersama yang mempererat hubungan antar masyarakat.

Minangkabau dengan Randai-nya, Mandailing dan Batak dengan Tortor-nya, dan Jawa dengan Gamelan atau Reog Ponorogo-nya. Ketika karya seni masing-masing suku itu ditampilkan, tidak lagi ada sekat "aku harus melihat seni dari etnisku", melainkan semua kelompok etnis saling hadir, menikmati, dan bahkan memahami isi dari karya seni yang dimiliki oleh masing-masing etnis tersebut. Ini menunjukkan harmonisnya hubungan antar mereka.

Selain itu, asimilasi ini juga tercermin dalam dunia pendidikan. Banyak sekolah yang mengadakan program untuk mengenalkan berbagai budaya yang ada di Pasaman Barat, mulai dari filosofi hidup, pepatah, norma, dan lainnya yang diajarkan di sekolah-sekolah tersebut. Hal ini bertujuan agar generasi muda belajar sejak dini untuk saling menghargai perbedaan yang ada.

Namun, romantisme asimilasi ini bukan tanpa tantangan. Globalisasi dan modernisasi membawa perubahan yang cepat dalam pola hidup, yang kadang dapat mengikis nilai-nilai tradisional. Generasi muda, misalnya, lebih banyak terpapar oleh budaya populer yang datang dari luar, sehingga kurang mengenal dan menghargai warisan budaya lokal.

Kehadiran teknologi dan media sosial juga menambah tantangan bagi keberlangsungan asimilasi ini. Kehidupan digital membuat banyak orang lebih fokus pada dunia maya, yang dapat mengurangi interaksi sosial dan kebersamaan di dunia nyata, dan ini bukan bukan problem suatu daerah melainkan problem global yang terjadi hari ini di hadapan kita bersama.

Di sinilah peran penting dari para tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda lokal, dan pemerintah daerah, khususnya dalam menjaga dan melestarikan romantisme asimilasi budaya ini. Melalui berbagai kegiatan kebudayaan dan sosial, mereka terus berusaha mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga harmoni dan toleransi yang telah terbangun selama ini. Kebijakan yang mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan adat dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk mempertahankan nilai-nilai asimilasi di tengah arus modernisasi.

Pada dasarnya romantisme asimilasi yang terjadi di Pasaman Barat, jikalau kita interpretasikan dengan teori multikulturalisme yang di bawakan oleh Will Kymlicka, seorang filsuf asal Kanada, sangatlah relevan di kehidupan multikultural Pasaman Barat, keberagaman budaya bukan hanya diterima, tetapi juga dirayakan dan dihargai sebagai bagian dari identitas kolektif masyarakat disana.

Hal ini terbukti dalam kebiasaan masyarakat Pasaman Barat yang secara terbuka mengapresiasi budaya dari berbagai etnis, memperkaya kehidupan sosial mereka.

Di samping itu, asimilasi yang sudah terjalin di Pasaman Barat hendaknya dapat memberikan inspirasi bagi wilayah lain yang menghadapi tantangan terkait keberagaman. Perbedaan budaya tidak menghalangi, malah menjadi kekayaan yang memperindah kehidupan bersama.

Selain itu, cara asimilasi yang seimbang ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi anak muda tentang pentingnya memelihara toleransi dan hidup berdampingan dengan penuh kedamaian.

Penulis: Reo Chandrika (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |