OTT Itu Penting: Sebuah Bantahan untuk Capim KPK Johanis Tanak

14 hours ago 3

Oleh: Habibur Rahman

Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian, keberadaannya sering menuai pro dan kontra, terutama di kalangan pejabat.

Akan tetapi, baru-baru ini Calon Pimpinan KPK Johanis Tanak, berniat menghapuskan operasi tangkap tangan (OTT) di KPK. Hal itu disampaikan ketika dirinya menjalani uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (19/11/2024).

Johanis mengatakan bahwa: “Menurut pandangan saya, OTT kurang tepat. Meskipun saya bagian dari pimpinan KPK dan harus mengikuti kebijakan, berdasarkan pemahaman saya, OTT sebagai Operasi Tangkap Tangan ini tidak sesuai,” ujar Johanis Tanak.

Di samping itu, pernyataan dari Johanis ini ternyata mendapatkan reaksi positif dari anggota Komisi III yang hadir, dengan menyambut baik pernyataan itu dengan tepuk tangan, sungguh ironis bukan?

Namun Johanis Tanak hendaknya mesti mengkaji ulang rencananya itu, karena jika ditinjau secara ilmiah, keberadaan OTT tidak hanya relevan tetapi juga esensial untuk melawan korupsi sebagai kejahatan yang bersifat sistemik dan kompleks.

Sebagai alat hukum dan sosial, tak hanya sampai disitu OTT memberikan efek kejut yang mengganggu praktik korupsi dan mendorong terciptanya pemerintahan yang lebih bersih, serta memperlihatkan adanya daya trigger untuk masyarakat lebih melek terhadap kasus diberitakan, maka sangat ceroboh pernyataan Johanis Tanak dalam menyatakan untuk menghilangkan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Dalam memahami pentingnya OTT, kita dapat merujuk pada teori kriminologi Edwin Hardin Sutherland seorang Sosiolog kelahiran Gibbon, Nebraska, Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan kerah putih atau dalam istilah yang digunakannya ialah 'White Collar Crime'.

Kejahatan semacam ini dilakukan oleh individu yang memanfaatkan posisi dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Dan korupsi sangat pasti untuk sering terjadi di balik layar, sehingga sulit terdeteksi melalui mekanisme pengawasan biasa, dan kejahatan kerah putih perlu penanganan yang tepat melalui OTT karena tingkat kesulitan untuk melacaknya cukup susah terendus.

Sedangkan di Indonesia, budaya korupsi telah lama tertanam dalam struktur birokrasi. Di samping itu, Transparency International secara konsisten menempatkan Indonesia dalam peringkat yang mengkhawatirkan dalam Indeks Persepsi Korupsi, menunjukkan betapa luasnya praktik ini di berbagai level pemerintahan.

Dalam konteks ini, dan oleh karena itu OTT sebagai mekanisme penegakan hukum yang mampu membongkar praktik-praktik tersembunyi tersebut, dan memperjelas ke kita bahwa tidak ada tolerir/sikap manja dalam penegakan korupsi, karena kejahatan ini merupakan kejahatan yang merugikan tidak satu atau kelompok orang, namun masyarakat luas merasakan dampaknya.

OTT bekerja secara langsung dengan menangkap pelaku saat sedang melakukan tindak pidana, sering kali disertai barang bukti yang kuat. Pendekatan ini memberikan efek psikologis yang signifikan, baik bagi pelaku maupun bagi mereka yang berpotensi melakukan tindakan serupa. Fenomena ini dijelaskan oleh 'deterrence theory', yang dikembangkan oleh Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham.

Teori ini kurang lebih menyatakan bahwa seseorang cenderung menghindari kejahatan jika ancaman hukuman terasa nyata, cepat, dan pasti. Nah, lagi-lagi OTT berperan secara praktis disini guna memperlihatkan bahwa hukum mampu bekerja dengan cepat dan efektif. Ketika pejabat atau individu yang berada di posisi strategis melihat ancaman nyata dari OTT, hal ini dapat menekan niat mereka untuk melakukan korupsi, menciptakan efek pencegahan yang luas.

Selain memberikan efek jera serta efek kejut seperti yang telah kita ulas di atas, OTT juga memiliki nilai strategis dalam memberantas korupsi yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Korupsi merampas sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, menciptakan ketimpangan sosial, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Dan negara dengan sumber daya alam melimpah ini seringkali terjebak dalam korupsi karena lemahnya institusi dan mekanisme pengawasan, dengan kekayaan alamnya, menjadi salah satu contoh nyata dari tantangan ini. Kerugian akibat korupsi tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga sosial, karena kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tergerus. OTT menjadi solusi untuk memulihkan kepercayaan tersebut dengan menunjukkan komitmen nyata dalam melawan korupsi.

Meski demikian, keberadaan OTT kerap mendapatkan kritik. Sebagian pihak berpendapat bahwa OTT bersifat reaktif dan hanya menargetkan individu tanpa menyelesaikan akar masalah korupsi, seperti lemahnya sistem birokrasi dan pengawasan internal.

Namun, pendekatan reaktif seperti OTT dan pendekatan preventif seperti reformasi sistemik sebenarnya saling melengkapi. Studi ekonomi kriminal oleh Gary S. Becker menunjukkan bahwa penegakan hukum yang efektif membutuhkan kombinasi strategi pencegahan dan penindakan.

OTT juga berfungsi sebagai alat untuk menegaskan bahwa korupsi tidak akan ditoleransi, sekaligus menciptakan tekanan bagi institusi untuk melakukan perubahan struktural. Tanpa ancaman nyata seperti OTT, reformasi birokrasi akan berjalan lambat, karena tidak ada dorongan kuat bagi para pemangku kepentingan untuk memperbaiki sistem.

Keberhasilan OTT dalam memberantas korupsi di Indonesia tidak dapat disangkal, dan selalu menimbulkan atensi positif dari masyarakat atas kinerja KPK dahulu yang gencar dengan OTT nya. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa lebih dari setengah kasus korupsi yang diungkap berasal dari hasil OTT, lagi-lagi Johanis Tanak tampaknya mesti melakukan melakukan literatur review terkait data-data penelitian soal OTT atau bahkan data internal dari KPK itu sendiri soal OTT, ini menunjukan bahwa Johanis Tanak tidak membaca, dan terkesan serampangan dalam mengeluarkan rencananya kedepan.

Sebagai contoh, beberapa kasus besar seperti skandal e-KTP dan berbagai penangkapan kepala daerah menunjukkan bagaimana OTT mampu membongkar jaringan korupsi yang melibatkan banyak pihak. Selain menangkap pelaku utama, OTT sering kali menjadi pintu masuk untuk mengungkap korupsi sistemik yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa OTT tidak hanya efektif sebagai langkah penindakan, tetapi juga sebagai strategi untuk menekan praktik korupsi yang lebih luas.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mendukung keberadaan OTT, termasuk Johanis Tanak sendiri sebagai Capim KPK yang mana sudah menjabat juga di KPK sebelumnya, dan juga sebagai bagian dari langkah integral dari pemberantasan korupsi.

Menghilangkan OTT sama saja dengan melemahkan upaya penegakan hukum dan membiarkan korupsi berkembang lebih jauh. OTT bukan hanya tentang menangkap pelaku, tetapi juga perihal bagaimana menjaga integritas sistem hukum dan birokrasi negara. Efek jera yang dihasilkan oleh OTT memberikan harapan bagi masyarakat bahwa keadilan masih bisa ditegakkan, bahkan dalam situasi yang terlihat suram sekalipun.

Dengan mempertahankan dan memperkuat OTT, bukan tidak mungkin negeri ini dapat terus bergerak menuju pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas. OTT bukan solusi tunggal, tetapi merupakan elemen penting dalam upaya menyeluruh untuk memberantas korupsi.

Dalam situasi di mana kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sering kali tergerus, terakhir, Johanis Tanak harus tahu bahwa OTT menjadi simbol bahwa hukum tetap berjalan dan bahwa keadilan tidak bisa ditawar, dan keberadaannya harus dipertahankan, bukan hanya demi menegakkan aturan, tetapi juga demi masa depan bangsa yang lebih adil dan bermartabat dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi. (*)

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |