Oleh: Aditya Bahari
Pada tahun 2024 ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan digelar di 10.846 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 4.103.084 orang.
Namun, di balik persiapan teknis ini, kekhawatiran akan terjadinya politik uang masih menjadi momok yang meresahkan. Praktik ini tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak berintegritas. Di Sumatra Barat, selain isu politik uang, rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga menjadi tantangan besar yang harus dihadapi.
Irsyad Syafar, anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat pernah menyampaikan kritik penting mengenai politik uang, dengan menegaskan bahwa penolakan terhadap praktik tersebut merupakan langkah utama untuk memastikan Ranah Minang mendapatkan pemimpin yang jujur dan berkomitmen kepada rakyat.
Pernyataan ini memiliki dasar yang kuat, mengingat politik uang dapat menciderai integritas pemilihan dan menghasilkan kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan kepentingan masyarakat luas. Jika masyarakat bersatu untuk menolak politik uang, maka kualitas pemerintahan yang lebih baik dapat tercapai.
Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sangat penting dalam upaya mencegah politik uang. Sebagai lembaga pengawas, Bawaslu diharapkan tidak hanya mengeluarkan deklarasi penolakan, tetapi juga mengambil langkah konkret dengan pengawasan ketat di setiap tahapan Pilkada.
Ketegasan dalam menindak pelaku politik uang sangat diperlukan agar menimbulkan efek jera. Di samping itu, kalau kita mengacu pada Teori Good Governance, yang menekankan pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan penegakan hukum, relevan untuk diterapkan dalam pengawasan ini.
Bawaslu juga perlu memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, misalnya dengan membuka sistem pelaporan daring yang memungkinkan masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran secara langsung dan cepat.
Namun, keberhasilan dalam mencegah politik uang tidak hanya bergantung pada Bawaslu semata. Masyarakat juga memegang peran penting dalam menciptakan Pilkada yang bersih. Kolaborasi antara Bawaslu dan masyarakat dapat menjadi kunci utama untuk memberantas praktik ini.
Dalam konteks teori partisipasi politik, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya Pilkada menjadi salah satu indikator kualitas demokrasi. Sosialisasi yang masif tentang dampak negatif politik uang harus terus dilakukan, terutama dengan pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil. Masyarakat juga perlu diberi ruang untuk aktif melaporkan indikasi pelanggaran yang mereka temui di lapangan.
Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam gerakan tolak politik uang. Dengan akses luas ke informasi dan relasi yang kuat dengan berbagai kalangan masyarakat, mahasiswa dapat berperan strategis dalam menyampaikan edukasi politik.
Beberapa perguruan tinggi di Sumatera Barat telah mengambil inisiatif untuk mendeklarasikan kampanye tolak politik uang, yang menunjukkan bahwa mahasiswa dapat menjadi motor penggerak dalam menyuarakan pentingnya menjaga integritas pemilu.
Hal ini senada dengan apa yang ada di teori perubahan sosial menegaskan bahwa perubahan signifikan dalam masyarakat sering kali dimulai dari kelompok muda yang memiliki keberanian dan idealisme tinggi, dan apakah anak muda negeri ini akan mengubah budaya lama politik uang itu? Atau sebaliknya, dan dengan memanfaatkan platform digital dan media sosial, mahasiswa dapat menyebarluaskan pesan-pesan penting tentang bahaya politik uang, sekaligus mendorong masyarakat untuk aktif melaporkan pelanggaran.
Salah satu kelompok yang paling rentan terhadap politik uang adalah pemilih pemula. Kurangnya pendidikan politik sejak dini membuat mereka lebih mudah tergiur oleh iming-iming materi yang diberikan oleh pelaku politik uang.
Ratna Dewi Pettalolo, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Umum (DKPP) menyoroti bahwa generasi muda kerap menjadi target dalam praktik ini karena belum memahami sepenuhnya bahaya yang ditimbulkan.
Untuk mengatasi masalah ini, sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif kepada generasi muda menjadi langkah strategis. Pendekatan berbasis teori pembelajaran politik, yang mengutamakan pengalaman langsung seperti simulasi pemilu atau diskusi interaktif, dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada mereka. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya menjadi pemilih yang cerdas, tetapi juga menjadi bagian dari solusi untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat.
Meskipun praktik politik uang telah menjadi masalah yang berulang dalam setiap Pilkada, hal ini bukan berarti tidak dapat diatasi. Sosialisasi yang berkelanjutan harus dilakukan untuk menyadarkan masyarakat bahwa menerima imbalan materi demi memilih kandidat tertentu berarti mengorbankan masa depan mereka sendiri. Penolakan terhadap politik uang adalah bentuk keberanian untuk menjaga kemurnian suara dan memilih pemimpin yang kompeten.
Di Sumatra Barat, nilai-nilai budaya yang berlandaskan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK) dapat menjadi fondasi moral yang kuat untuk menolak politik uang. Nilai-nilai ini harus terus ditanamkan dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari agar membentuk kesadaran kolektif masyarakat.
Upaya pencegahan politik uang memerlukan sinergi yang kuat antara semua pihak. Ketegasan Bawaslu, keterlibatan aktif masyarakat, inisiatif mahasiswa, dan pendidikan politik yang memadai adalah elemen-elemen penting untuk menciptakan Pilkada yang bersih.
Jika semua elemen ini bekerja sama dengan baik, maka Sumatra Barat dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam mewujudkan demokrasi yang jujur, transparan, dan berintegritas. Dengan menjaga kemurnian suara dan menolak segala bentuk politik uang, masyarakat Sumatra Barat dapat memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar membawa perubahan positif untuk masa depan mereka.
Penulis: Aditya Bahari (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)