SUKABUMI – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Kota Sukabumi turut merespons mengenai bencana alam hidrometeorologi yang disebabkan cuaca ekstrem seperti banjir dan longsor. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua 1 DPRD, Taufik Muhammad Guntur.
Taufik menyebutkan, penyebab banjir beragam, mulai dari curah hujan yang tinggi, buruknya sistem drainase, hingga perubahan iklim. Dampak banjir pun sangat luas, mulai dari kerugian materi, kerusakan infrastruktur, hingga korban jiwa.
“Sayangnya, musibah banjir seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Beberapa bentuk politisasi yang sering terjadi,” kata Taufik kepada Radar Sukabumi, Selasa (5/11).
Bentuk politisasi yang pertama, jelas Taufik, adalah pencitraan. Menurut dia, pejabat dan partai politik seringkali memanfaatkan momen bencana alam untuk menunjukkan kepedulian dan empati kepada masyarakat. Aktivitas yang kerap terjadi adalah mengunjungi lokasi bencana dengan membagikan bantuan dan membuat pernyataan simpati.
“Namun, seringkali tindakan ini lebih bersifat simbolis dan kurang berdampak nyata dalam jangka panjang,” tutur politisi dari Partai Nasdem.
Kedua, perang saling tuding. Ketika terjadi banjir, seringkali muncul saling tuding antara pihak-pihak yang berbeda, terutama antara pemerintah pusat dan daerah. Masing-masing pihak akan saling menyalahkan atas terjadinya banjir dan lambatnya penanganan.
Ketiga, janji kampanye. Banjir seringkali dijadikan isu kampanye oleh para calon pemimpin. Mereka akan menjanjikan berbagai solusi untuk mengatasi banjir, seperti pembangunan infrastruktur yang lebih baik, normalisasi sungai, dan sebagainya. “Namun, janji-janji tersebut seringkali sulit diwujudkan setelah mereka terpilih,” sindirnya.
Taufik pun memaparkan sejumlah dampak negatif dari politisasi musibah. Pertama adalah menghambat penanganan bencana. Saling tuding dan persaingan politik dapat menghambat koordinasi dan kerja sama dalam penanganan bencana. “Akibatnya, penanganan bencana menjadi tidak efektif dan lamban,” ungkapnya.
Kedua, memperkeruh situasi. Politisasi dapat memperkeruh suasana dan memicu konflik sosial. Masyarakat yang terdampak bencana menjadi semakin resah dan frustasi.
Ketiga, lanjut Taufik, menurunkan kepercayaan masyarakat. Ketika melihat para pemimpin lebih sibuk berpolitik daripada mengatasi masalah, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Untuk itu, Taufik pun menawarkan sejumlah solusi untuk mengatasi politisasi musibah banjir dengan beberapa langkah.
“Kesatu, fokus pada solusi. Pemerintah dan semua pihak terkait harus lebih fokus pada mencari solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah banjir, daripada saling menyalahkan,” papar Taufik.
Kedua, meningkatkan transparansi. Pemerintah harus lebih transparan dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program-program penanggulangan bencana.
Ketiga, membangun kemitraan. Pemerintah perlu membangun kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat, swasta, dan lembaga internasional, dalam upaya penanggulangan bencana.
“Keempat, mendidik masyarakat. Masyarakat perlu diberikan edukasi tentang pentingnya mitigasi bencana dan cara-cara untuk menghadapi bencana,” sebut Taufik.
Taufik pun menyimpulkan bahwa musibah banjir merupakan masalah kompleks yang membutuhkan penanganan serius dari semua pihak. Politisasi musibah hanya akan memperparah situasi dan merugikan masyarakat. “Oleh karena itu, kita perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah banjir secara efektif dan berkelanjutan,” pungkasnya. (izo)