Oleh: Rafdi, M.A
Ketua Badan Pengurus Harian Yayasan Buana Pratama (Penyelenggara Perguruan Tinggi CBI)
Ucup ( nama asli Yusuf ), deskripsi sejarah perjalanan seorang mahasiswa Akpar CBI Sukabumi, mengarah pada kerangka kisi-kisi yang disebut kompetensi sikap/afektif. Tentang Ucup adalah tentang kesan dan pesan masa lalunya yang hanya bisa diasesmen melalui persfektik apresiasi.
Namun di kalangan teman mahasiswanya, Ucup hanya tumpahan iseng dan olok-olok. Tidak berlebihan kiranya oleh sebab Ucup berkomunikasi bahasa Indonesia bercampur bahasa Sunda. Menjadi bahan olok-olok yang lain karena performa Ucup kuliah pakai kaos lusuh dan sepatunya robek pada bagian belakang. Kaos oblong dan sepatu robek ini sering dipakai untuk pakaian kuliah.
Reperentasi Ucup menemukan bentuk keunikan khusus tentang ketidak berdayaan untuk kelayakan performa sebagai seorang mahasiswa yang sekurang kurangnya tampilan standar dengan rapi, dan bila dibanding dengan sebahagian mahasiswa lain ada pula yang pakai jaket almamater.
Selain itu kekurangan dalam standar komunikasi yakni mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Ketidakberdayaan dimaknai selaku sesuatu itu ada dalam diri Ucup bukanlah faktor disengaja tetapi pengaruh latar belakang diri berasal dari kampung yang natural membiasakan diri bahasa daerah, atau bisa jadi impuls cara komunikasi berkesopanan yang mana belum ditemukan olehnya padanan kata untuk pesan kesopanan pada bahasa Indonesia.
Pada kuliah keseharian Ucup boleh dikatakan paling rajin, hampir tidak pernah absen. Di kelas dia aktif bertanya dan menunjukkan keceriaan. Dia aktif mendekatkan diri ke dosen-dosen. Namun ada sesuatu yang sepertinya menyengat dan mejadikan Ucup tertunduk, saat petugas penagih spp masuk kelas.
Pada saat itulah keceriaan Ucup berubah menjadi lesu dan was-was. Gelisah kecilnya menunjukkan ketidaknyamanan ditandai dengan bawaan menunduk. Bahwa Ucup sesungguhnya punya masalah yang berat. Bahwa besarnya keceriaan salama ini sama besarnya dengan beban yaitu tidak bisa membayar SPP. Bayaran di Akpar CBI Sukabumi pakai sistim SPP bulanan, bukan per semester.
Petugas SPP memanggil Ucup, menyampaikan bahwa betapa Ucup sangat lalai dalam pembayaran dan terkesan sengaja membangkang, bahkan diduga semacam mahasiswa yang sudah dikasih orang tua untuk bayaran SPP tetapi uangnya dipakai belanja. Sudah hampir empat bulan Ucup kuliah semester satu tetapi belum lima rupiahpun uang masuk, bahkan belum menebus biaya perlengkapan sama sekali. Untuk itu petugas penagih SPP memberi kesempatan Ucup bercerita karena Ucup diambang untuk di drop out.
Ucup bercerita yang diawali dari latar belakang keluarga. Bahwa orang tuanya sudah bercerai. Ibunya dagang gorengan di pinggir jalan untuk membela ekonomi keluarga dan adik-adiknya masih pada kecil. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan sehari-hari saja keluarganya kerepotan. Bahkan kata Ucup, untuk berangkat kuliah hampir setiap hari kesulitan ongkos. Padahal sengaja naik mobil tiga perempat trayek Bogor Sukabumi agar ongkosnya lebih murah.
Kampung Ucup di Cibadak berjarak dua belas kilo meter ke kota Sukabumi tempat kampus Akpar CBI. Ucup mengatakan bahwa lebih sering punya ongkos hanya untuk berangkat saja. Petugas penagih SPP sengaja tidak menanyakan tentang bagaimana cara Ucup untuk pulang.
Namun demikian Ucup dengan raut percaya diri menyampaikan bahwa nanti akan mengadakan pembayaran kalau uang sudah ada. Namun Ucup bukan tipe mahasiswa mengada ada, apa yang dia sampaikan sebegitu adanya. Kejujuran itu ketahuan dari narasinya bahwa dia tidak berani menjanjikan dari mana sumber uang itu nantinya karena memang faktanya belum jelas.
Kisah haru Ucup merupakan dilematik bagi perasaan natural bagi insan yang membayangkan hingga apresiasinya. Kalau mendropout Ucup sama halnya membunuh keceriaan yang mana medan kegembiraan itu baru saja dia dapat namun dipadamkan secara mendadak, mendropout Ucup sama halnya membentengi masa depan orang lain padahal gerbangnya sudah dibuka. Dilematis tentang Ucup berada antara peraturan kampus dengan rasa alami manusia, tentang rasa sedih dan haru, tentang daya dukung terhadap seorang anak bangsa yang ingin menyelamatkan keadaan diri dan keluarga melalui pendidikan.
Tidak ada rumus berazas formal yang membantu menyelamatkan Ucup untuk tetap kuliah di Akpar CBI. Azas formal yang membantu kompensiasi biaya perkuliahan seperti bea siswa prestasi kepintaran dan kecakapan minat bakat. Ucup tidak punya itu. Bahwa tidak ada jenis bea siswa pada waktu itu yang relevan dengan keadaan Ucup.
Keadaan Ucup adalah seorang dhuafa yang berani bersepekulasi tingkat tinggi untuk kuliah, seorang yang nekat naik angkutan umum bermodalkan ongkos berangkat yang pulangnya entah bagaimana, seorang mahasiswa bernampilan sedikit terkesan carut marut di lingkungan teman temannya yang rapi, seorang mahasiswa yang self confidence berani mendekatkan diri ke pada dosen dosen dan berani untuk pembelajaran partisipatif di kelas.Hanya itu modal Ucup.
Masalah Ucup pada akhirnya dibawa ke tingkat yayasan penyelenggara Akpar CBI Sukabumi. Setelah melalui berbagai pertimbangan apresiatif serta menomorduakan ketentuan formal maka Ucup dipersilakan tetap kuliah di Akpar CBI Sukabumi yang dibebaskan dari pembayaran SPP. Kegembiraan Ucup tak ada lagi penghalang.
Ditandai dengan tekadnya melalui action, telah bulat hatinya ingin memiliki jas almamater. Kalau mahasiswa lain langsung membayar almamater dengan cash, namun Ucup diberi kesempatan sesuai kemampuannya. Harga jas almamater waktu itu tujuh puluh lima ribu rupiah. Ucup membayarnya dengan cara angsuran, kadang tujuh ribu lima ratus,kadang lima belas ribu. Pada akhirnya Ucup mampu memiliki jas almamater setelah melakukan pembayaran angsuran selama tiga bulan.
Pada era MBKM ini pembelajaran menekankan kompetensi mahasiswa yang harus jelas dan terukur. Kompetensi yang meliputi Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan.Sesuai edaran ditjendikti bahwa komposisi kompetensi sikap berada pada bobot antara 30 persen sampai 40 persen.
Kompetensi sikap pada tataran teoritis dan teknis disebut sebagai Afektif, hidden compatancy, Soft Skil, dan lain lain. Pernahkah ada apresiasi kesuksesan sikap beserta aktualisasinya pada dunia akademis ? Dunia akademis terlalu fokus pada pemanggungan mahasiswa yang berprestasi pengetahuan dan keterampilan : juara membuat robot, juara bidang sains tertentu, berhasil menemukan ini dan itu.
Sementara tentang kasus Ucup yang berprestasi pada bidang afektif dan juga mahasiswa lain yang sejarah kesuksesannya mirip mirip Ucup, jangankan untuk dipanggungkan terkadang dilirikpun tidak. Memang tidak ada kompetisi tentang asesmen kesuksesan sikap tetapi paling tidak bisa memposisikan mereka mereka sebagai pilot project melalui narasi bilbiografi bahwa ada bentuk lain selain kecerdasan dan keahlian yang menjadikan seseorang sukses.
Bahkan mereka mereka beranjak dari modal minus, merangkak dan mengais ilmu dari ketiadaan, mereka adalah orang orang lemah yang mengemis ilmu ke pada lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Merekapun sadar dan akan mundur dan tahu diri bila dihadapkan pada regulasi formal tentang berbagai macam biaya. Padahal mereka adalah aset bangsa tetapi korban regulatif akademik, membawa mereka menjadi floating akademik, padahal mereka atas potensinya pada bentuk lain tidak seharusnya terpinggirkan dari kehidupan untuk bisa mengecam dunia akademik.
Faktor yang dapat mempengaruh soft skill berupa pengalaman hidup terutama yang pahit pahit : dalam konteks berfikir, bersikap, berkata dan bertindak. Atribut softskill dapat berubah sesuai dengan keinginan seseorang, jika seseorang mau merubahnya dengan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ucup telah mengami fase ini di Akpar CBI Sukabumi.
Ucup telah tamat dan lolos seleksi kerja di dua tempat, di Bali dan luar negri. Dan Ucup memilih kerja di Bali. Kemudian pada tahun 2020 Ucup pindah kerja, diterima bekerja di Australia sampai sekarang ini ( Tahun 2024 ). Rekam jejak Ucup selalu bisa diikuti oleh karena dia rajin bersillaturahmi ke Akpar CBI kalau libur kerja.
Ucup tak lagi seperti dulu, terutama dalam hal performa, sekarang penampilannya rapi dan sedikit berkelas. Namun Ucup tetaplah Ucup yang dulu walaupun sudah sukses dalam konteks relatif, rasa kekeluargaan dan kebersahajaan tetap melekat pada dirinya. Namun dari kenangan portofolio dulu yang kini sudah berbalik seratus delapan puluh derajat menjadikan daya ingat kembali ke belakang tentang performa masa lalunya, ” mana sepatu bututmu itu Ucup ?”.(*)