Rekonstruksi Peradaban Ilmiah Islam: Antara Romantisme dan Realitas

1 week ago 11

Oleh: Iqbal Rizkyka

Masih ingatkah kita akan viralnya "Clash of Champions" yang diselenggarakan oleh Ruangguru pada pertengahan tahun ini? Bagaimana antusiasme anak-anak muda yang melek terhadap pendidikan? Tentu, responsnya positif, dengan saling mendukung terutama di kalangan yang fokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, ironisnya, masih ada saja yang berkomentar, “lebih baik ilmu agama daripada ilmu umum karena bisa menjadi bekal akhirat.” Fyuh.

Islam pernah mencapai masa kejayaan dalam ilmu pengetahuan melalui upaya-upaya penerjemahan karya dari berbagai bahasa. Namun kini semua itu hanya menjadi cerita kebanggaan yang diiringi semakin tertinggalnya umat Islam dalam sains dan teknologi hingga “terjajah” oleh bangsa Barat.

Dampak destruktif yang terjadi sejak abad ke-10 hingga ke-11 Masehi ini, seperti yang diungkapkan oleh Luthfi Assyaukanie, disebabkan oleh maraknya ajaran Imam Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf, yang didukung oleh pemerintah Dinasti Seljuk.

Fokus mereka hanya pada pendidikan agama dan mengenyampingkan filsafat serta sains. Upaya pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum pun semakin kontras terlihat, hingga umat Islam pada masa itu hanya puas dengan ilmu agama.

Di sisi lain, Eropa sedang berusaha bangkit dari masa kegelapannya. Tak heran jika Ibnu Rusyd, seorang dokter sekaligus filsuf di dunia Barat, mengkritik pemikiran Al-Ghazali yang tertuang dalam “Tahafut al-Falasifah” melalui karyanya “Tahafut at-Tahafut.”

Dalam karyanya, Ibnu Rusyd membela para filsuf seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan lainnya, yang oleh Al-Ghazali dianggap mendekati kekafiran. Hingga kini, seperti yang dikatakan oleh Al-Maarif Arif, peradaban Timur terbangun dengan mengambil pemikiran Al-Ghazali dan meninggalkan pemikiran Ibnu Rusyd, yang justru sangat dihargai oleh masyarakat Barat.

Hingga kini, kita tidak dapat menguasai dunia dan hanya bisa bersuara tanpa didengar, karena kita kurang memiliki kepakaran dalam ranah sains dan teknologi. Kita hanya responsif dan reaktif, tanpa mampu berperan aktif dan hegemonik di berbagai sektor.

Hal ini sejalan dengan ungkapan Mohammad Abdul Salam, seorang ilmuwan fisika asal Pakistan, “Ingatlah bahwa sains terapan dan teknologi adalah mesin pemutar uang. Begitu hal ini ditampakkan dalam masyarakat kita, maka para pemimpin dan ulama tidak akan lagi berkeinginan menghentikan pekerjaan para ilmuwan dan teknologi.”

Sebagai contoh sederhana, sekitar sebulan yang lalu, kita dihebohkan dengan fenomena perdebatan dalam konteks “diskusi ilmiah” antara Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul. Diskusi yang diselenggarakan oleh penerbit buku Keira ini mendapat atensi yang kuat dari mahasiswa yang ingin berpikir kritis.

Jika dianalisis dari kerangka argumen kedua belah pihak, Guru Gembul yang merupakan seorang YouTuber, memantik pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai apakah Tuhan bisa diilmiahkan? Ia menyepakati kaidah ilmiah berdasarkan empirisme (pengamatan indrawi) untuk menemukan kebenaran. Kaidah ini berlaku universal dalam penelitian ilmiah, sehingga menurutnya, Tuhan tidak bisa diilmiahkan.

Ia lebih menerima apa yang dikatakan oleh wahyu, yaitu firman Allah, mengenai keberadaan-Nya. Dari sini, dapat kita lihat bahwa upaya Guru Gembul adalah tetap menggunakan kaidah ilmiah universal, namun untuk persoalan Tuhan, ia mengakui bahwa itu tidak bisa diempiriskan.

Di sisi lain, Muhammad Nuruddin, seorang alumni Aqidah dan Filsafat Al-Azhar, menyatakan bahwa Tuhan bisa diilmiahkan. Ia menekankan argumen kausalitas, bahwa Tuhan merupakan kausa prima sehingga keberadaan-Nya tidak dapat terbantahkan dalam konteks ilmiah. Ia menegaskan bahwa ilmiah bukan hanya empirisme, melainkan juga rasionalisme untuk mendapatkan jawaban konkret. Menurutnya, umat Islam tidak perlu berpatokan pada kaidah universal yang diciptakan oleh Barat.

Perdebatan kedua kubu ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari penggemar masing-masing. Ironisnya, sebagian penggemar kemudian fokus mencaci-maki dengan oposisi biner yang menganggap “jagoan mereka paling benar,” hingga menjadikan diskusi kontra-produktif dan melupakan konteks yang dibahas untuk menjadi solusi bersama bagi umat Islam, khususnya di Indonesia.

Peradaban ilmiah Islam telah menjadi cita-cita para tokoh reformis Islam sejak zaman kolonialisme di beberapa negara Islam. Salah satunya adalah Ismail al-Faruqi (1921–1986 M) yang menggagas konsep “Islamisasi Ilmu Pengetahuan.” Gagasan ini menyulut semangat kalangan Muslim untuk lebih giat dalam penelitian ilmiah yang selaras dengan nilai-nilai keislaman.

Namun, gagasan ini terkesan rumit dan membebani bagi para peneliti, terutama seperti yang diterapkan oleh kaum fondasionalis. Mereka menekankan ketatnya aspek keislaman pada sisi ontologis dan epistemologis. Para saintis diharuskan merujuk pada kebajikan Allah dalam setiap fenomena atau fakta yang disebutkan. Meskipun secara iman hal ini dapat diterima, tetapi dalam konteks pembelajaran yang mensyaratkan demikian, hal ini terkesan kaku dan rumit.

Ada baiknya jika proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini lebih berfokus pada aspek aksiologis saja tanpa terjebak pada aspek ontologis dan epistemologis yang menimbulkan perdebatan kontra-produktif. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana melahirkan ilmuwan Muslim yang profesional di bidangnya, sekaligus memiliki integritas intelektual, moral, dan religius, seperti yang diungkapkan oleh Fahruddin Faiz.

Pada akhirnya, tulisan ini merupakan refleksi bagi kita sebagai umat Islam yang merindukan kejayaan dalam peradaban ilmiah. Kalimat penutup mungkin dapat diambil dari buku terbaru Pak Faiz berjudul "Nalar Keislaman dan Keilmuan", yaitu, “Peradaban ilmiah Islam tidak akan bangkit hanya dengan sikap responsif dan reaktif. Kebangkitan hanya akan muncul dari sikap aktif dan kreatif”. (*)

Penulis: Iqbal Rizkyka (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |