Perahu Kecil Hamka Mengarungi Samudra Cinta Raham

1 week ago 8

Oleh: Fauzul Ikhsan Dafiq

Sosok Buya Hamka barangkali sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ulama karismatik yang juga seorang sastrawan besar dari tanah Minangkabau ini terkenal bukan hanya karena perjalanan dakwahnya yang luas, tetapi juga karena karya-karya sastranya yang mendalam.

Novel-novelnya menyentuh hati pembaca, menggugah perasaan, dan menawarkan hikmah kehidupan. Begitu pula kisah hidupnya, yang penuh dengan lika-liku, menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda dalam menghadapi realitas hidup dan berumah tangga.

Kisah cinta Buya Hamka dan istrinya, Siti Raham, memukau siapa pun yang mendengarnya. Seperti kisah cinta Romeo dan Juliet, cinta antara Hamka dan Siti Raham bukanlah cinta yang sesaat, melainkan cinta yang dalam, tulus, dan sederhana. Hamka menjaga makna cinta suci di antara keduanya, dan Siti Raham pun mencintai suaminya dengan sepenuh hati, setia mendampingi di mana pun dan dalam keadaan apa pun Hamka berada.

Dalam kisah cinta mereka, terdapat beberapa keunikan yang mungkin belum banyak diketahui orang.

Menikah di Usia Muda
Hamka dan Siti Raham menikah di usia yang masih sangat muda. Pada tanggal 5 April 1929, di usia 21 tahun, Buya Hamka menikahi Siti Raham yang baru berusia 15 tahun. Begitu belianya Siti Raham sampai-sampai ia perlu berdiri di atas bangku ketika berfoto dengan Hamka agar tinggi mereka sejajar. Sebelum menikah, Hamka bahkan sempat menulis novel berbahasa Minang berjudul Si Sabariyah, yang dicetak sebanyak tiga kali. Dari hasil penjualannya, ia menggunakan uang tersebut untuk menikahi Siti Raham.

Hamka Menolak untuk Mendua
Dari sisi kejantanan, mungkin sulit membayangkan seorang pria yang menolak kesempatan untuk berpoligami, terlebih jika sudah mendapat restu dari istrinya. Namun, bagi Hamka yang begitu mencintai Siti Raham, mendua bukanlah pilihan. Semasa mudanya, Hamka adalah sosok yang mudah jatuh cinta pada wanita. Dalam perjalanan dakwahnya, banyak wanita yang tertarik padanya, termasuk seorang janda muda bernama Kulsum.

Meskipun Siti Raham sudah merestui jika Hamka ingin menikah lagi, Hamka memilih untuk setia pada cintanya yang satu. Bahkan ketika seorang muslimah menawarkan diri untuk menjadi pendamping hidupnya secara sah, Hamka tetap teguh pada pilihannya. Hanya setelah dua tahun kepergian Siti Raham, ia menikah kembali atas saran anak-anaknya.

Selain dipenuhi keunikan, kehidupan rumah tangga Hamka dan Siti Raham juga diwarnai berbagai cobaan berat. Mulai dari kesulitan ekonomi, kehilangan anak, hingga tekanan hidup yang sering kali menguji kesetiaan keduanya. Dalam buku Biografi Pribadi Buya Prof Dr. Hamka karya Rusydi Hamka, disebutkan, “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-gantian, karena di rumah hanya ada sehelai kain.” Dari situ terlihat betapa sulitnya ekonomi keluarga Hamka saat itu.

Puncak kemiskinan Hamka dan Siti Raham terjadi ketika anak ketiga mereka, Rusydi, lahir pada tahun 1935 di kamar asrama Kulliyatul Muballighin, Padang Panjang. Pada saat yang sama, anak pertama mereka, Hisyam, meninggal dunia pada usia lima tahun. Meski cobaan begitu berat, tekad Hamka tak pernah surut. Ia bahkan rela pergi ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman, meninggalkan keluarga sementara demi mencukupi kebutuhan hidup.

Tak hanya Hamka, Siti Raham juga berjuang tanpa kenal lelah untuk merawat anak-anak mereka. Dalam pengakuan Rusydi, ia menyaksikan sendiri betapa keras perjuangan orang tuanya melawan kemiskinan. Kesetiaan Siti Raham berkali-kali diuji, namun ia tetap setia, meski Hamka harus berada jauh darinya. Ia menjalankan amanah untuk mendidik anak-anak mereka dengan sepenuh hati dan tetap menjadi istri yang patuh dan setia.

Dari kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham, kita bisa memetik banyak pelajaran berharga, dari menjaga kesetiaan terhadap pasangan hingga menahan diri dari godaan. Semoga kisah ini dapat memperkaya wawasan kita tentang keteguhan cinta dan ketulusan seorang Haji Abdul Malik Karim Abdullah, yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka.

Penulis: Fauzul Ikhsan Dafiq (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |