“Waktu check in Anda sudah lewat”.
Tulisan itu muncul di layar setelah saya memasukkan kode booking di komputer bandara Hartford, Connecticut. Critical Parah
Ups…Saya ketinggalan pesawat.
Padahal ini penerbangan hampir tiga jam. Ke Chicago. Tidak bisa diganti dengan naik mobil: bisa dua hari baru sampai. Padahal Hartford – Chicago bukan jalur penting. Jarang ada penerbangan langsung. Pesawat untuk rute itu pun kecil: jet regional Bombardier –lantaran jumlah penumpang yang tidak banyak.
Saya pun lari ke tempat check in di counter. Kebetulan tidak ada antrean. Dia pun membuka komputer dan memasukkan data-data, termasuk paspor saya. Terlihat berusaha sungguh-sungguh membantu.
“Sudah tidak bisa lagi dibantu,” katanyi.
“Saya tidak bawa bagasi,” kata saya mengiba.
Dia kembali serius mengutak-atik keyboard. Agak lama. Lalu saya lega. Dia terlihat mengklik ”enter”. Itu pertanda lagi mencetak kartu boarding.
“Alhamdulillaaaah…,” kata saya dalam hati. Lega. Saya pun mengucapkan terima kasih tak terhitung berapa kali. Saya tidak hiraukan lagi kata-katanyi setelah itu. Saya lari ke gerbang pemberangkatan.
Lari. Lari.
Saya tahu pemeriksaan di security akan lama. Tidak mungkin diterobos dengan alasan apa pun. Tidak perlu dicoba pakai merayu atau minta prioritas. Justru akan berurusan lama. Ini Amerika.
Saya hanya berhasil melewati beberapa orang yang antre di depan saya. Saya minta izin baik-baik. Mereka dengan senang hati mempersilakan. Saya pun sering memberi kesempatan orang yang kepepet waktu seperti itu.
Saya lihat orang di depan saya: copot sepatu. Sepatu pun harus dimasukkan mesin pemeriksaan. Satu menit rasa satu jam.
Setelah melewati security barulah saya lega. Saya langsung lihat boarding pass. Harus ke gate berapa.
Tulisan di boarding pass terasa kabur. Emosi saya mungkin membuat darah terlalu banyak naik ke kepala. Lama-lama tulisan jelas: Gate 30. Jauh. Belok. Lari!
Sampai di gate masih ada tiga orang yang antre mau naik pesawat. Saya lega. Tidak perlu usap keringat. Udara dingin.
Tibalah giliran saya untuk boarding. Barcode di boarding pass saya tempelkan di cahaya scanner. Tidak muncul bunyi tiiit dan warna hijau. Saya coba lagi. Sama. Coba lagi. Tidak bisa.
Petugas pun datang. Dia memeriksa boarding pass saya.
“Anda salah penerbangan”, katanyi.
“Ini kan benar, American Airlines.”.
“Benar”.
“Jurusan Chicago O’Hare”
“Benar”.
“Apanya yang salah?”
“Anda di penerbangan yang jam 6 sore,” jawabnyi.
Ups… Kurang teliti. Saya amati boarding pass itu. Benar. Jam 6 sore. Mungkin petugas check in di depan tadi ingin menjelaskan itu tapi saya keburu membawa lari boarding pass yang dia berikan.
Ya sudah.
Yang penting malam itu akan sampai di Chicago. Berarti petugas check in di depan tadi sangat baik. Tanpa bertanya apa pun langsung mencarikan penerbangan berikutnya. Satu-satunya yang masih ada. Tanpa bayar apa-apa. Tidak ada permintaan agar saya beli tiket yang baru.
Ini masih jam 12 siang. Berarti saya harus enam jam menunggu. Ya sudah. Kan bisa diisi dengan menulis untuk Disway.
Saya pun cari tempat duduk. Sebenarnya tidak mencari. Semua kursi di ruang tunggu itu kosong. Tiba-tiba saya ingat sesuatu: lapar.
Saya juga ingat: masih ada singkong rebus di tas kresek saya. Di bawah buku tebal berjudul American People pemberian Daeng Saleh Mude.
Singkong itu saya rebus waktu di New York. Di rumah James Sundah. Lia, istrinya, tahu: saya harus makan singkong tiap hari. Dia bisa beli singkong yang belum dikupas di New York.
Saya kupas singkong itu. Saya potong-potong. Saya rebus. Agak banyak. Untuk tiga hari. Sebagian saya bawa. Separonya untuk dimakan di New Haven. Separonya lagi saya panasi di New Haven. Untuk dimakan di Hartford.
Lia juga sudah menelepon Chicago agar Monchie, istri Stevanus Nugroho, menyediakan singkong di rumahnyi.
Waktu pertama tiba di Amerika, saya ajak Ari Sufiati sama-sama mencari singkong di supermarket dekat San Jose. Tidak ketemu. Berarti harus ke supermarketnya orang Meksiko. Tidak ketemu.
Ari tidak menyerah. Dia tahu ”singkong” itu dalam bahasa Spanyol disebut ”yuka”. Begitu dibilang ”yuka” langsung ketemu di mana tempatnya.
Enam jam di bandara Hartford. Saya kasihan pada Monchie yang menjemput saya di O’Hare. Tapi saya tahu jarak rumahnyi ke bandara hanya 40 menit. Mestinya belum telanjur berangkat ke O’Hare.
Saya WA dia. Saya pun minta maaf. Ini kesalahan saya. Terlalu lama di Wesleyan University. Juga mengapa tidak check in online. Begitu sepele pun tidak terpikir, apalagi urusan critical thinking.(Dahlan Iskan)