Kejayaan Ilmu Pengetahuan Islam: Inspirasi dari Masa Lalu untuk Kebangkitan Masa Kini

1 week ago 11

Oleh: Elgi Kurniawan

Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad berkembang di tengah masyarakat Arab Jahiliah yang akidah dan moralnya sangat rusak, sehingga secara logika akan sulit diterima. Banyak tantangan menghadang, bahkan dari Bani Hasyim sendiri, seperti Abu Lahab, pamannya.

Perjuangan Nabi untuk mengembalikan akidah masyarakat sangat luar biasa; beliau harus dimusuhi keluarga, keluarganya diboikot, dilempari kotoran, bahkan menjadi target pembunuhan.

Perjuangan beliau yang begitu besar tidak sia-sia dan tidak berhenti begitu saja. Ketika beliau hijrah ke Madinah, Islam disambut baik dan berkembang pesat di sana. Rasulullah menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam yang dipimpin langsung olehnya.

Setelah masa ini, Islam terus berkembang pesat. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Islam berhasil memasuki wilayah Persia yang kala itu merupakan negara adidaya, bersama dengan Romawi. Islam terus berkembang ke berbagai belahan dunia; di bawah Thariq bin Ziyad, Islam memasuki wilayah Andalusia, dan di bawah Muhammad al-Fatih, Islam menguasai Konstantinopel yang merupakan pusat kekaisaran Romawi. Diperkirakan, pada masa itu Islam menguasai sekitar dua pertiga dunia.

Kejayaan Islam tidak hanya terlihat dari luasnya wilayah dan persebaran agama ini. Pada masa Bani Abbasiyah, dunia Islam mencapai puncak ilmu pengetahuan di Timur, sedangkan di Barat dikenal masa kejayaan ilmu pengetahuan di bawah kekuasaan Umayyah II.

Baghdad, ibu kota pemerintahan Abbasiyah, menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia dengan perpustakaan besar, yaitu Bayt al-Hikmah. Di Barat, perkembangan ilmu pengetahuan juga sangat pesat, terutama di Andalusia.

Dinasti Umayyah II di bawah Abdurrahman ad-Dakhil mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di sana, yang mencapai puncaknya pada masa al-Hakam II di Cordoba. Kota ini memiliki lebih dari 400.000 buku, sebagian besar merupakan salinan dari Baghdad. Selain perpustakaan, pemerintah juga mendirikan universitas dan sekolah-sekolah yang menghadirkan guru-guru dari Baghdad serta pemikir Barat.

Pada masa Abbasiyah ini lahir banyak ulama hebat yang karya-karyanya masih dirasakan hingga saat ini. Imam madzhab hidup pada masa ini, ilmu kalam dan pemikiran Islam berkembang pesat, dan para ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, dan ulama lainnya, juga muncul.

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Setelah Islam bersinggungan dengan Barat, banyak buku-buku Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan kitab-kitab Yunani membawa pemikiran Barat ke dunia Islam, sehingga muncul filsuf Islam pertama, Al-Farabi, yang dijuluki sebagai "Aristoteles kedua."

Para ilmuwan yang mendalami Al-Qur'an dan terbantu dengan pemikiran serta cara berpikir Yunani membawa Islam pada ajaran yang lebih rasional dan dapat diterima. Hal yang patut kita perhatikan adalah semangat para pemimpin dan ilmuwan dalam membaca dan mengkaji ilmu.

Karena itulah, Islam menjadi agama yang banyak menemukan hal baru pada periode itu. Al-Khawarizmi dikenal dengan konsep "sifr" (nol) dan al-jabr (aljabar), Abu Hayyan dengan teori kimianya, Ibnu Sina yang di Barat dikenal sebagai Avicenna, seorang filsuf dan dokter yang karya-karyanya digunakan dalam ilmu kedokteran Barat, bahkan dikenal sebagai "Bapak Kedokteran Modern."

Pergantian pemerintahan dan dinasti dalam Islam menunjukkan ciri khas masing-masing dengan pemikiran yang terus berkembang, hingga akhirnya khilafah terakhir umat Islam, yaitu Daulah Utsmaniyah, runtuh. Di tangan Daulah Utsmaniyah, Konstantinopel dan Baitul Maqdis dapat dikuasai Islam.

Namun, keruntuhan Daulah Utsmaniyah oleh Mustafa Kemal Ataturk menandai turunnya kejayaan Islam. Setelah itu, umat Islam mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri dan terpecah-belah. Di masa kini, kita melihat bagaimana Barat unggul dalam ilmu pengetahuan, seolah posisi telah berganti. Dahulu, Islam memegang kendali ilmu pengetahuan, tetapi kini Barat yang memegangnya.

Mengenang kejayaan Islam pada masa lalu tidak cukup hanya dengan kebanggaan atau penyesalan. Semangat tersebut harus diikuti dengan tekad untuk bangkit dari keadaan saat ini. Ketika kita bernostalgia akan kejayaan Islam dalam berbagai aspek kehidupan, kita perlu menumbuhkan motivasi untuk kebangkitan pengetahuan umat Muslim.

Kehebatan para ilmuwan Islam tidak terlepas dari agamanya serta kebiasaan mereka membaca dan berpikir secara mendalam. Hampir semua ilmuwan Muslim dikelilingi berbagai kitab yang mereka baca, guru yang mereka pelajari, dan perpustakaan yang menjadi sahabat mereka.

Hal ini yang sekarang tampak kurang dalam masyarakat Islam. Kehadiran teknologi membuat gairah mencari ilmu menurun, bahkan banyak yang malas membaca. Seperti yang diungkapkan oleh Karlina Supelli, filsuf dan astronom perempuan pertama dari Indonesia, “Otak kita bisa menjadi tajam ketika otak berdialog, dan itu hanya dilakukan dengan membaca buku”. (*)

Penulis: Elgi Kurniawan (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |