SUKABUMI — Bencana banjir yang melanda Kabupaten Sukabumi pada 2 Desember 2024 lalu, telah menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Terdapat 39 kecamatan dan 176 desa terdampak banjir serta risiko belasan warga meninggal dan hilang, akibat bencana alam di Kabupaten Sukabumi.
Direktur Eksekutif Walhi Daerah Jawa Barat, Wahyudin mengatakan, hasil pemantauan citra satelit, sedikitnya terdapat beberapa kawasan hutan yang telah hancur tutupan hutannya. Kehancuran hutan itu, diduga kuat karena aktivitas pertambangan emas, dan tambang galian kuarsa.
Salah satunya, di wilayah Kecamatan Waluran Jampang, degradasi hutan diduga kuat karena adanya pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) guna pasokan serbuk kayu ke PLTU Pelabuhan Ratu.
“Dalam proyek ini, PT.Perhutani selaku pemegang otorita kawasan telah memproyeksikan lahan seluas 1.307,69 hektare,” kata Wahyudin kepada Radar Sukabumi pada Jumat (13/12).
Sementara, aktor yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Perum Perhutani,PT. PLN dan PT,BA tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahan Sinar Mas dan perusahan yang berasal dari Cina bergerak juga dalam program ini. Tidak jauh seperti yang terjadi di KPH lain, salah satunya perusahan yang bergerak untuk kebutuhan serbuk kayu yaitu PT. PLN Persero, PT,Sinar Mandiri dan PT.Makmur Jaya Corporindo.
“Tidak salah jika kawasan hutan berubah fungsi dan dapat meningkatkan run oleh kegiatan ini, malah kecenderungan kami, bahwa tanaman kaliandra dan gamal hanya menjadi kedok untuk menutupi tambang-tambang yang ilegal dan setelahnya di panen untuk kebutuhan suplai serbuk kayu ke PLTU,” paparnya.
Bukan hanya, Walhi Jawa Barat juga telah menemukan adanya operasi tambang emas di kawasan hutan. Di Ciemas, beroperasi PT. Wilton dengan luas konsesi 300 hektare dan juga di Kecamatan Simpenan beroperasi kegiatan tambang oleh PT. Generasi Muda Bersatu.
“Kawasan perhutanan sosial tidak luput pula dari objek tambang sebagaimana terdapat di petak 93 Bojong Pari dan Cimanintin dengan luas 96,11 hektar ,” imbuhnya.
Apabila mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi, sambung Wahyudin, kawasan tersebut tidak masuk pada lokasi pertambangan dan juga bukan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Bencana ekologis yang telah memporak porandakan wilayah Sukabumi jelas karena adanya kontribusi Perusahaan. Untuk itu, Walhi Jabar meminta Polri agar melakukan penegakan hukum tindak pidana lingkungan.
“Kepada pemerintah kami mendesak agar menuntut perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang,” paparnya.