JAKARTA – Puluhan perwakilan masyarakat di sepanjang Pantai Utara Tangerang Banten yang terkena dampak Proyek Pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK 2) dan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2, bersama sejumlah tokoh nasional seperti Abraham Samad (mantan Ketua KPK periode 2011-2015), Prof. Hafidz Abbas (mantan Ketua Komnas HAM periode 2012-2017), Eros Djarot (budayawan), Said Didu, Usman Hamid dari Amnesty International, dan beberapa tokoh lainnya mendatangi Kantor Komnas HAM di Jakarta pada hari kemarin. Mereka melaporkan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pihak PIK 2 dengan memperalat aparat negara di lapangan.
Dalam dokumen laporan mereka disebutkan bahwa pelaksanaan proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di sepanjang Pantai Utara Tangerang Banten telah menyebabkan pelanggaran HAM berat terhadap penduduk lokal, warga sipil, masyarakat miskin, petani, nelayan, pedagang asongan, perempuan, dan anak-anak. Setelah ditetapkan sebagai PSN sesuai Peraturan Menko Bidang Perekonomian Republik Indonesia No.6 Tahun 2024, pihak PIK 2 semakin brutal dengan menggunakan aparat negara untuk melakukan intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi terhadap warga lokal sehingga mereka terpaksa menyerahkan atau melepaskan lahan atau wilayah pemukiman mereka demi kepentingan bisnis perusahaan tersebut.
Pihak PIK 2 diduga secara sengaja membangun proyek pemukiman untuk komunitas tertentu atau kalangan elit dan eksklusif. Mereka bahkan membangun pagar tembok setinggi 5 meter untuk memisahkan diri dari masyarakat lokal yang kebanyakan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Ada yang menganalogikan pelayanan di PIK 2 seperti negara dalam negara. Tindakan ini mirip dengan apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1948 hingga 1990-an.
“Kami semua berharap dengan laporan ini, pihak Komnas HAM RI segera mengambil tindakan cepat merespons laporan warga,” ujar Abraham Samad menjelaskan alasan warga mengadu ke Komnas HAM. Berdasarkan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), setiap orang atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada Komnas HAM.
“Apa yang terjadi di PIK 2 melanggar Deklarasi Universal HAM yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) khususnya pasal 3 yang berbunyi ‘Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu’ dan Pasal 17 (1) ‘Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.’ Pasal 17 (2) ‘Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena,'” tambahnya.
Proyek PIK 2 sejak awal dikembangkan sudah menuai protes keras karena dianggap lebih banyak merugikan warga. Bahkan, sejak proses pembangunan proyek PIK 1 di sepanjang Pantai Jakarta juga sudah diprotes warga, meskipun gelombang protesnya saat itu belum sekuat sekarang.
Pada tahun 2024, Presiden Jokowi menyetujui penetapan PIK 2 masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan luas 1.755 hektar bersama beberapa proyek lainnya di Indonesia. Bermodalkan status sebagai PSN tersebut, pihak pengelola PIK 2 menjadi semakin brutal dalam menguasai lahan warga, termasuk di luar kawasan yang ditetapkan sebagai PSN.
“Benar selama ini ada transaksi jual beli tanah warga dengan pihak perusahaan, namun dilakukan dengan cara yang tidak wajar dan penuh intimidasi dengan memperalat perangkat negara, mulai dari level bawah jajaran pemerintahan desa, lembaga penegak hukum, hingga kepolisian dan peradilan,” ujar Carlie Candra, salah satu korban.
Ia mengaku sempat dipenjara selama 2 bulan dan hingga kini masih berstatus tersangka hanya karena bertahan tidak mau menjual tanahnya kepada PIK 2. “Sampai kapan negara ini begini, Pak?” ujarnya kepada Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid dan Dr. Uli Parulian Sihombing, S.H., M.H., anggota Komnas HAM.(*)