Oleh: SITI NURHOLIPAH
MahasiswiProgram Studi Pndidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan
Fakultas Sosial dan Ekonomi Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
Perkembangan yang cepat dalam teknli dan digitalisasi telah mengubah wajah perekonomian indonesia. Dari layanan streaming, aplikasi belanja online, hingga platfrom media sosial, semua kini menjadi bagian dari aktifitas ekonomi yang besar dan signifikan.
Dalam konteks, pemerintah indonesia menanggapinya dengan menerapkan kebijakan pajak digital, sebuah langkah yang dianggap penting untuk menjaga keadilan dan meningkatkan penerimaan negara.
Namun, diengah optimisme itu, muncul pula berbagai perrtanayaan : Apakah kebijakan ini sudah efektif ? Siapa yang paling terdampak? dan Bagaimana penerapan pajak digital dalam konteks hukum perpajakan nasional? Artikel ini akan memcoba mengupas lebih jauh isu pajak digita di Indonesia, kaitannya dengan hukum pajak, serta dampaknya terhadap masyarakat dan perekonomian nasional.
Kebijakan pajak digital di Indonesia sejak tahun 2020, pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan pajak digital dengan penanganan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% terhadap produk dan layanan digital diluar negri.
Hal ini di perkuat melalui Peraturan Mentri Keuangan (PMK) No.48 /PMK, 03/2020 yang mengatur tata cara penunjukan, pemungutan dan penyetran PPN oleh pelaku usaha digial. Pada tahun 2025, tarif PPN akan dibebankan menjadi 12%, sebagimana tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Langkah ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan nasional yang bertujuan memperlus baisi perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara.
Efektifitas Kebijakan: Antara Target dan Realita
Secara langka, kebijakan ini telah menunjukan hasil yang signifikan. Berdasarkan data Direktorat Jendral Pajak, penerimaan pajak digital pada Januari 2025 mencapai Rp. 774,8 miliar, dan secara kumulatif sejak tahun 2020 sudah menembus Rp. 33,39 triliun. Hal ini dapat menunjukan bahwa sektor ekonomi digital merupakan potensi besar yang sebelumnya belum tergarap secara maksimal oleh sistem perpajakan.
Namun demikian, efektivitas kebijakan ini masih menyisakan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kehadran pelaku usaha digital, terutama skala menengah dan kecil yang berbasis di Indonesia. Banyak pelaku usaha digital lokal yang masih belum sepenuhnya memahami kewajiban pajak diital, atau belum memiliki sisem perbuuan yang tertib.
Misalnya, pada 2024, masih di temukan sejumlah pelaku usaha digital lokal yang belum terdaftar sebagai pemungut PPN, padahal telah memenuhi syarat omzet. Dalam laporan DDTC (2024), pemerintah bahkan menambahkan daftar pelaku usaha digital yang wajib memungut PPN karena masih banyak yang belum mematuhi aturan. Di sisi lain, konsumen juga mlai merasakan dampak berupa kenaikan harga pada layanan digital.
Dampak bagi Masyarakat dan Palaku Usaha
Bagi masyarakat umum, dampak paling langsung dari kebijakan ini adalah kenaikan harga pada layanan digital berlangganan. Misalnya, harga paket langganan Spotyfy Premium di Indonesia mengalami penyesuaian dari Rp. 49.990 menjadi Rp. 54.990 per bulan untuk paket invidual, setelah peneyesuaian PPN dan biaya lainya.
Meskipun tidak terlalu besar secara nominal, namun secara psikologis, beban tambahan ini bisa mempengaruhi pola kosumen digital, khususnya dikalangan anak muda dan mahasiswa.
Sementara itu untuk pelaku usaha digital lokal, kebijakan ini dapat menjadi pendorong untuk lebih teratur dalam administrasi dan transparan dalam laporan keuangan.
Di sisi lain, mereka harus menghadapi tantangan adaptasi, terutama dalam hal teknologi pencatatan dan pelaporan pajak. Namun secara keseluruhan, jika d terapkan dengan pengawasan dan pembinaan yang tepat, kebijakan ini dapat meciptakan persaingan usaha yan lebih adil antara bisnis digital loal dan pemain besar dari luar negri.
Halaman: 1 2