RAMADHAN selalu membawa nuansa berbeda bagi umat Muslim di seluruh dunia, tak terkecuali bagi Lesmana Pamungkas (31), seorang WNI perantau asal Sagaranten, Kabupaten Sukabumi yang kini menetap di Kota Nagahama, Prefektur Shiga, Jepang. Sejak tahun 2022, ia telah menjalani kehidupan di Negeri Sakura dan merasakan berbagai pengalaman unik, terutama saat menjalani ibadah puasa di lingkungan yang mayoritas penduduknya bukan Muslim.
Widi Fitria — Sukabumi
Menurut Lesmana, secara teknis durasi puasa di Jepang tahun ini tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Dengan rentang waktu sekitar 13 hingga 14 jam, puasa tahun ini bertepatan dengan musim semi, saat bunga sakura mulai bermekaran. Namun, ada satu hal yang sangat dirasakan berbeda, yaitu suasana.
“Di Indonesia, kita terbiasa mendengar suara adzan berkumandang serta lantunan ayat suci Al-Qur’an yang mengiringi waktu sahur dan berbuka. Namun, di Jepang, suasana itu tidak ada,” ujarnya.
Tantangan terbesar dalam menjalani puasa di Jepang bukanlah soal waktu, melainkan cuaca. Meskipun sudah memasuki musim semi, udara pagi hari masih terasa sangat dingin, terutama di daerah tempat tinggalnya yang dekat dengan pegunungan bersalju. “Saat berangkat kerja di pagi hari, suhu bisa mencapai minus 2 derajat Celsius, dan itu menjadi tantangan tersendiri saat harus berpuasa,” tambahnya.
Meskipun ada masjid di Prefektur Shiga, yakni Masjid Annur Notogawa, akses ke tempat ibadah tersebut tidaklah mudah bagi Lesmana. Dengan jarak sekitar 45 menit perjalanan menggunakan kereta biasa, ia hanya bisa mengunjunginya saat hari libur, yaitu pada Sabtu atau Minggu.
Namun, keberadaan komunitas Muslim Shiga yang aktif di Masjid Annur menjadi salah satu pelipur lara bagi para perantau Muslim. Selama bulan Ramadhan, komunitas ini mengadakan berbagai kegiatan, seperti buka puasa bersama, pengajian, membaca Al-Qur’an, serta gotong royong membersihkan masjid.
“Di hari kerja, biasanya saya berbuka puasa bersama teman-teman sesama pekerja Indonesia. Tapi saat akhir pekan, saya bisa berbuka bersama komunitas Muslim Shiga di masjid, dan itu menjadi momen kebersamaan yang sangat berharga,” ungkapnya.
Sebagai seorang perantau, ada satu hal yang tak tergantikan salah satunya kebersamaan dengan keluarga di kampung halaman.
“Yang paling dirindukan tentu saja momen sahur dan berbuka bersama keluarga. Bisa berkumpul dengan orang tua dan sanak saudara adalah hal yang sangat berharga saat Ramadhan, dan itu yang paling saya rindukan selama di Jepang,” katanya dengan nada haru.
Dibandingkan beberapa tahun lalu, mencari makanan halal di Jepang kini jauh lebih mudah. Banyak toko Asia yang menyediakan produk halal, bahkan beberapa produk asal Indonesia juga sudah tersedia di rak-rak supermarket. Selain itu, layanan belanja online semakin memudahkan umat Muslim mendapatkan bahan makanan halal.
Tak hanya itu, komunitas Muslim Indonesia di Jepang juga semakin kreatif dalam memenuhi kebutuhan sesama. “Sekarang, ada juga orang Indonesia yang berjualan keliling dengan truk, menjajakan bahan makanan halal khas Indonesia. Ini tentu sangat membantu bagi kami yang merindukan cita rasa tanah air,” kata Lesmana.
Halaman: 1 2