JAKARTA — Saat ditanya wartawan Rabu pekan ini mengenai posisi apakah Amerika Serikat akan ikut Israel menyerang fasilitas nuklir Iran, Presiden Donald Trump menjawab, “mungkin ya, mungkin tidak.”
Tapi sudah ada desakan kuat di dalam negeri AS agar Trump membantu Israel menyerang Iran. Sebagian lagi menentang penglibatan militer AS dalam konflik itu. Mungkin akhirnya Trump menceburkan AS dalam perang itu walau melawan janji elektoralnya untuk tak menjerumuskan AS ke dalam perang yang dirancang pihak lain.
Mungkin juga Trump berpegang teguh pada janjinya pada Pemilu 2024 itu. Hal yang pasti, Israel akan terus berupaya menyeret AS dalam konflik rancangannya, karena tak mungkin sendirian menundukkan Iran.
Israel, khususnya rezim Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, tak bisa menyembunyikan hasrat melemahkan Iran pada tingkat nol, sampai-sampai tak mengesampingkan skenario pembunuhan Pemimpin Spritual Iran Ayatullah Ali Khamenei.
Untuk itu, dari Presiden Turki Recep Erdogan sampai pakar internasional seperti Behnam Ben Taleblu dari Foundation for Defense of Democracies, menilai proyek rezim Netanyahu itu sudah lebih dari sekadar melucuti program nuklir Iran.
“Sejak awal, berdasarkan sasaran dan pesan publik yang disampaikan Israel, sudah jelas operasi ini lebih dari sekadar operasi anti-proliferasi (senjata nuklir),” kata Ben Taleblu dalam laman berita Vox, belum lama ini.
Netanyahu sendiri terang-terangan menginginkan “pergantian rezim” di Iran, yang sama seperti ketika AS menjungkalkan Saddam Hussein di Irak pada 2003. Dalihnya pun sama, yakni mencegah penyebaran senjata nuklir, yang dalam kasus Saddam Hussein ternyata bohong besar.
Kini, dalih sama akan digunakan kepada Iran, dengan taktik sama seperti dilakukan presiden AS saat itu, George Bush. Padahal, rujukan-rujukan untuk dalih menginvasi Iran tetap sama lemah dengan dalih yang dipakai untuk mendongkel Saddam Hussein pada 2003.
Bahkan Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbard menyatakan Iran masih perlu bertahun-tahun lagi untuk bisa memproduksi senjata nuklir. Tetap saja, Trump mengesampingkan asesmen anggota kabinetnya itu, dengan bersikukuh menyatakan Iran di ambang memproduksi senjata nuklir.
Israel apalagi. Netanyahu memakai kesimpulan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebagai dalih menyerang Iran pada 12 Juni 2025, yang kemudian memicu balasan dari Iran, sampai kini.
Posisi Iran istimewa
IAEA hanya menyatakan Iran tak melanggar kesepakatan dengan tidak menjawab pertanyaan seputar fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan kepada IAEA. Tapi IAEA tak menyimpulkan Iran di ambang menguasai senjata nuklir, seperti diyakini Netanyahu dan Trump.
Okelah, Trump dan Netanyahu jalan terus dengan rencana mengubur selamanya impian Iran dalam memiliki senjata nuklir, yang nantinya akan sulit dipisahkan dari niat menggulingkan pemerintahan di Iran.
Pertanyaannya, apakah upaya itu akan semudah ketika mendongkel Saddam Hussein pada 2003? Banyak kalangan yang menyatakan sulit melakukannya, walau Trump sudah memerintahkan armada militer AS mendekat ke Iran. Ini karena situasi Iran kini berbeda dengan situasi Irak pada 2003.
Jika pada 2003, banyak negara Timur Tengah yang melibatkan diri dalam memerangi Irak, maka saat ini situasi seperti itu sulit terjadi, termasuk Arab Saudi yang sejak dua tahun lalu menormalisasi hubungan diplomatik dengan Iran.
Iran juga memiliki kemampuan melawan yang lebih kuat ketimbang Saddam Hussein.
Bukti terakhir adalah hujan rudal belakangan ini ke kota-kota Israel, padahal selama bertahun-tahun Iran dijerat sanksi yang seharusnya menutup akses mereka ke pasar teknologi perang dan persenjataan global.
Sepanjang Israel berdiri tak ada yang bisa menyerang jauh ke dalam wilayah Israel, kecuali Iran saat ini.
Tapi kartu lain yang tidak dalam genggaman AS dan Israel adalah fakta bahwa Iran sudah masuk bagian dari jejaring pengaruh global Rusia dan China.
Presiden Vladimir Putin yang pada 15 Januari 2025 meneken Pakta Kemitraan Strategis bersama Presiden Iran Masoud Pezeshkian, pasti tak akan mau kehilangan sekutu Rusia yang masih tersisa di Timur Tengah setelah Bashar al-Assad tumbang tahun lalu di Suriah.
Posisi Iran terlalu istimewa di mata Rusia, walau di masa kuno acap terlibat perang.
Terletak di selatan Rusia dan dekat dengan tetangga-tetangga Rusia yang berusaha menjauhi Rusia, Iran sangat instrumental bagi Rusia. Bahkan negara ini membantu Rusia dalam perang dengan Ukraina.
Putin akan sulit menerima rezim baru Iran yang condong ke Barat, karena itu sama artinya dengan merusak kepentingan global Rusia dan sekaligus mengurung Rusia.
Lihatlah peta global, Iran cukup dekat dengan negara-negara bekas Uni Soviet, termasuk Georgia, yang hingga kini tak memadamkan hasrat bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
Tak akan diam
Skenario Iran yang pro AS juga membahayakan kepentingan Rusia di Asia Tengah dan Kaspia yang tepinya berbatasan dengan Azerbaijan, Turkmenistan, dan Kazakhstan, yang semuanya vital bagi kepentingan nasional dan keamanan Rusia.
Maka, jika Iran dirontokkan, itu sama artinya membuat Rusia merasa makin dikepung, padahal negara ini sudah direpotkan oleh perang di Ukraina, dan di tepi barat perbatasan mereka dihadapkan dengan negara-negara NATO yang sebagian besar bekas Uni Soviet dan eks Pakta Warsawa, kecuali Finlandia.
Oleh karena itu, pergantian rezim di Iran sama artinya dengan mengisolasi Rusia dalam tingkat lebih ekstrem.
Dan bukan hanya Rusia yang berpikiran begitu, karena China juga akan merasa dirugikan secara politik dan ekonomi.
Menurut data perusahaan komoditas, Kypler, China adalah penikmat terbesar ekspor minyak Iran, yang pada dasarnya tidak dapat dilakukan karena tengah dijatuhi sanksi oleh AS dan Barat.
Menurut Kypler, 90 persen ekspor minyak mentah Iran disalurkan ke China. Data impor dari Iran ini tak masuk data resmi. Dan dari data resmi, Rusia, Arab Saudi, Malaysia, Irak, dan Uni Emirat Arab, adalah enam pemasok minyak utama untuk China.
Halaman: 1 2