Dampak Larangan Study Tour: Potensi Kerugian Lebih Dari Rp 2 Triliun dan Adaptasinya

4 days ago 14

Oleh: Eko Susanto / Dosen Kepariwisataan Politeknik Negeri Bandung

Pemerintah Jawa Barat baru-baru ini mengeluarkan kebijakan larangan study tour bagi seluruh sekolah dengan alasan utama keselamatan serta memastikan kegiatan pendidikan lebih berorientasi akademik. Meski bertujuan baik, kebijakan ini berpotensi memberikan dampak ekonomi yang cukup besar, terutama bagi sektor pariwisata dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Jawa Barat.

Berdasarkan Portal Data Pendidikan, jumlah siswa SMP, SMA, dan SMK di Jawa Barat mencapai lebih dari tiga juta siswa. Dengan asumsi bahwa 75 persen dari jumlah tersebut melaksanakan study tour/perjalanan ke luar sekolah dengan pengeluaran rata-rata satu juta rupiah per siswa per tahun, telah menciptakan perputaran ekonomi yang signifikan di sektor pariwisata.

Larangan ini juga telah ditindaklanjuti oleh wilayah-wilayah tetangga Jawa Barat dengan kebijakan serupa, yang mungkin merugikan Jawa Barat akibat hilangnya captive market destinasi dari kunjungan siswa luar Jawa Barat.

Dengan multiplier effect sekitar satu koma lima hingga dua setengah kali lipat, potensi dampak ekonomi yang hilang akibat larangan ini dapat mencapai lebih dari dua triliun rupiah. Kehilangan pendapatan ini berdampak langsung pada industri transportasi, perhotelan, restoran, destinasi wisata, hingga UMKM yang bergantung pada sektor pariwisata, serta rantai suplainya.

Banyak pelaku usaha pariwisata Jawa Barat yang telah mengkonfigurasi bisnisnya khusus untuk melayani segmen pasar ini. Selain itu, sektor ketenagakerjaan juga terkena dampak signifikan. Menurut World Travel & Tourism Council (WTTC), setiap satu miliar rupiah yang dibelanjakan di sektor pariwisata dapat menciptakan sekitar 150 hingga 200 lapangan kerja.

Jika total kehilangan pendapatan dari study tour diperkirakan mencapai 2,28 triliun rupiah, maka potensi kehilangan pekerjaan dapat mencapai lebih dari 342 ribu hingga 570 ribu orang. Kondisi ini berisiko menurunkan kesempatan kerja di sektor jasa, terutama bagi pekerja informal yang menggantungkan pendapatannya pada aktivitas wisata.

Lebih lanjut, larangan ini juga berpotensi mengurangi PAD Jawa Barat yang berasal dari pajak hotel, restoran, hiburan, dan retribusi wisata. Dengan asumsi alokasi pengeluaran siswa mencakup akomodasi, konsumsi, hiburan, dan tiket masuk tempat wisata, total PAD yang berpotensi hilang mencapai sekitar 136,8 miliar rupiah.

Evaluasi Dari Praktik Yang Ada

Meskipun study tour memberikan dampak ekonomi yang besar, praktiknya selama ini juga memiliki berbagai kelemahan yang perlu dievaluasi. Banyak kegiatan study tour yang kurang memperhatikan aspek pembelajaran sebagai tujuan utama, terlihat dari itinerary yang tidak memperhatikan Distribution of Time perjalanan untuk tujuan pembelajaran.

Selain itu, pengukuran keberhasilan atas kegiatan ini seringkali dilupakan sebagai sebuah proses integral pendidikan. Berikutnya, aspek tata kelola dan transparansi biaya yang sering kali dipertanyakan.

Biaya yang dibebankan kepada siswa tidak selalu berorientasi pada kualitas layanan yang optimal. Contohnya penggunaan akomodasi dengan sistem room sharing yang kurang ideal serta kelayakan transportasi yang mengabaikan standar keselamatan. Berseberangan, ditemukan pula motif penyelenggaraan study tour yang terlampau mewah dan cenderung tidak inklusif, hal ini menimbulkan perlombaan study tour yang semakin jauh dari esensi pembelajaran itu sendiri. Ditemukan pula, sekolah yang mewajibkan study tour, sementara mereka yang memilih tidak ikut, tetap dikenakan kewajiban lain, seperti membayar sebagian biaya atau menyelesaikan penugasan tertentu, seolah-olah ini merupakan bentuk sanksi terselubung.

Persoalan lain yaitu lemahnya penerapan good corporate governance dalam penyelenggaraan study tour. Terdapat penyedia jasa perjalanan wisata yang beroperasi tanpa memperhatikan standar industri, atau perjalanan wisata yang dioperasikan sendiri oleh pihak sekolah yang tentu tidak memiliki ijin untuk hal ini.

Kondisi ini menciptakan kompetisi yang tidak sehat dan meningkatkan risiko bagi peserta. Gejala hilir dari lemahnya tata kelola ini terlihat dalam berbagai kasus, seperti kecelakaan lalu lintas, pembatalan perjalanan akibat penipuan (fraud), serta ketidakpuasan orang tua terhadap pelaksanaan study tour.

Saran Di Masa Mendatang

Melihat dampak besar yang ditimbulkan oleh larangan ini, kebijakan tersebut sebaiknya diiringi dengan solusi yang lebih matang agar tidak memberikan efek negatif bagi dunia pendidikan dan ekonomi daerah.

Dalam konteks pembelajaran, study tour merupakan salah satu bentuk percepatan pembelajaran melalui metode experiential learning. Meskipun bukan satu-satunya cara belajar, kegiatan ini tetap relevan untuk memperkaya pengalaman siswa untuk memahami konteks yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, yang diperlukan bukanlah larangan total perjalanan ke luar sekolah, melainkan reformasi dalam tata kelola penyelenggaraan study tour agar benar-benar berorientasi pada pendidikan.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan aspek pendidikan dan ekonomi:

1. Relaksasi kebijakan dengan tata kelola yang lebih baik: Alih-alih melarang sepenuhnya, pemerintah dapat menerapkan regulasi ketat yang memastikan bahwa study tour hanya boleh dilakukan oleh penyedia perjalanan resmi yang telah memenuhi standar keselamatan dan kualitas layanan.

2. Peningkatan kualitas study tour berbasis pembelajaran: Study tour harus dirancang dengan tujuan edukatif yang lebih jelas, memastikan itinerary perjalanan memiliki porsi seimbang antara pembelajaran dan rekreasi, serta hasil pembelajaran yang dapat terukur.

3. Standarisasi dan transparansi dalam kontrak perjalanan: Jika study tour tetap dilakukan dalam skema business to business (B2B) antara sekolah dan penyedia jasa, perlu ada transparansi kontrak serta mekanisme pengawasan untuk menghindari penyalahgunaan spesifikasi layanan. Model lelang terbuka menjadi salah satu upaya perbaikan proses penyediaan jasa perjalanan, sebagaimana lazimnya proses procurement pada berbagai lembaga.

4. Memprioritaskan kunjungan ke desa wisata di Jawa Barat: Pemerintah daerah di Jawa Barat telah banyak berinvestasi untuk mengembangkan destinasi, khususnya desa wisata. Berikan peluang bagi desa wisata untuk berkembang dengan segala potensi dan kearifannya. Para pelaku desa wisata sesungguhnya rindu untuk dapat melayani kunjungan para siswa. Hal ini nampaknya selaras dengan Asta Cita ke Enam, membangun dari desa.

5. Mekanisme baru dalam pola pembelanjaan wisata siswa: Jika larangan tetap diberlakukan, sesungguhnya dana masyarakat untuk melakukan perjalanan tetap ada, hanya pola pengeluarannya yang berubah dari skema B2B menjadi business to consumer (B2C). Dengan demikian, penyedia wisata perlu beradaptasi dengan menawarkan paket wisata berbasis komunitas atau keluarga, seperti open trip atau perjalanan kelompok yang tidak terkait langsung dengan institusi sekolah.

6. Perbaikan ekosistem pariwisata yang lebih profesional: Pelaku industri pariwisata juga perlu menuntut komitmen pemerintah daerah untuk menciptakan lingkungan wisata yang lebih aman dan profesional, bebas dari pungutan liar, premanisme, dan pengamen liar yang sering menjadi keluhan wisatawan.

Dengan langkah-langkah ini, study tour atau bentuk perjalanan belajar lainnya dapat tetap berlangsung dengan orientasi yang lebih baik tanpa mengorbankan sektor ekonomi yang bergantung pada pariwisata.(*)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |