Oleh : Dr. Elinda Rizkasari.,S.Pd.,M.Pd
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta
Surakarta – Menjelang diera tahun 2025 banyak kasus terjadi di lingkungan Sekolahan, baik dari kasus Guru dilaporkan ke Polisi oleh orang tua, kasus kekerasan kepada Guru oleh orang tua siswa hingga kasus kekerasan murid kepada Guru. Memasuki era tahun 2025 kali ini kasus seperti itu seperti angin sepoi yang sering dirasakan dinegara Indonesia tercinta ini.
Banyak faktor yang menyebabkan kasus tersebut seperti angin lalu bahkan semakin marak terjadi, dari kurangnya ketegasan dari pihak Sekolahan, kurangnya perlindungan hukum bagi guru, serta kurangnya pola asuh orang tua kepada anak selama dirumah. Kita ketahui bahwa Rumah merupakan salah satu madrasah pertama bagi sang anak, sedangkan Sekolah adalah rumah kedua. Konsep dasar seperti ini kadang menjadi salah kaprah bagi orang tua, mereka mengira bahwa ketika anak disekolahkan maka seluruh tingkah laku dan sikap siswa bagi orang tua “sudah terima beres saja” sehingga keluarga seperti kurang pemantauan terhadap si anak.
Padahal keberhasilan mendidik anak, tidak hanya tanggung jawab Pihak sekolahan saja melainkan juga tanggung jawab pihak Keluarga terutama orang tua. Terkadang ada beberapa orang tua yang tidak mendukung pihak Guru ataupun Sekolah dengan peraturan disiplin bahkan hukuman bagi siswa supaya tidak mengulanginya lagi. Bahkan karena orang tua hanya mendapatkan laporan dari sephak siswa, maka banyak kejadian seorang orang tua yang melabrak seorang Guru disekolahan hanya karena menertibkan serta mendisiplinkan siswa.
Kasus kejadian kisah nyata terjadi di sekolah swasta Madrasah Aliyah Kecamatan Kebunagung Demak. Kejadian terjadi dimana seorang Siswa membacok Guru lantaran Guru sering menegur lantaran sang siswa sering membolos Sekolah. Al hasil ketika sang Guru sedang mengawas ujian Sekolah, tiba – tiba datang siswa kemudian membacok Guru bagian leher serta lengan.
Kemudian kasus yang lain yang terbaru bulan Februari 2025 dimana dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang setelah beredarnya video yang memperlihatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tiga siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) terhadap seorang guru. Video berdurasi 14 detik menunjukkan tiga siswa SMA pengeroyokan seorang guru di dalam kelas. Saat dua siswa memegang tangan kanan dan kirinya, guru tampaknya tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, satu siswa lain terlihat melayangkan pukulan berulang ke arah wajah guru. Karena ada beberapa siswa lain di dalam kelas, diduga pengeroyokan itu terjadi saat kelas sedang berlangsung.
Tentunya hal ini tidak akan terjadi apabila ada kerja sama serta komunikasi yang baik antara orang tua dengan pihak sekolahan terutama Guru. Tetapi yang paling miris adalah pada zaman sekarang orang tua mayoritas tidak mendukung Langkah Sekolahan untuk mendisiplinkan siswa dengan tegas tetapi malah membela siswa. Alih – alih orang tua merasa anaknya diperlakukan tidak menyenangkan menjadi alasan untuk memenjarakan Guru yang terlalu keras dengan Siswa.
Kalau kita sudi untuk menilik memori era tahun 1990-an sampai tahun 2000-an dimana seorang Siswa ketika mendapatkan hukuman keras dari Guru disekolahan entah itu terlambat, tidak mengerjakan PR tidak berani mengadu ke Orang tua. Karena mereka sadar apabila mengadu kepada orang tua malah akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari orang tua kepada siswa.
Kemudian para siswa sadar bahwa Guru merupakan sesosok pendidik yang sayang kepada kita, menjadi pendidik yang tegas serta berwibawa. Ibarat dua mata pisau yang saling menguntungkan dan merugikan, Guru pada zaman dahulu lebih dikenal siswa dengan wibawa yang tinggi serta ditakuti karena kedisiplinanya. Berbeda dengan Guru muda yang sekarang, meskipun tidak semuanya tetapi mayoritas beberapa Guru muda yang lebih akrab dengan murid sehingga menghilangkan norma – norma batas antara Guru dan Murid. Banyak fenomena dilapangan yang terjadi dimana Guru malah lebih sibuk eksis di media sosial seperti Live Tik tok Bersama siswanya daripada sibuk mendidik siswa bagaimana supaya adab mereka menjadi lebih baik.
Dari data penelitian terbaru dari Jaringan Pemantau Pendidikan Temukan 43,9 Persen Guru Jadi Aktor Kekerasan di Sekolah. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menemukan sebanyak 43,9 persen guru menjadi pelaku kekerasan terhadap siswa mereka di sekolah. Data ini berdasarkan laporan kekerasan di sektor pendidikan yang dikumpulkan oleh JPPI sepanjang 2024. JPPI juga menemukan bahwa 10,2 persen guru di Indonesia adalah korban kekerasan. Ada kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa, kasus pemukulan oleh orang tua, dan kasus guru yang dikriminalisasi.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, ada beberapa cara yang memang harus dilakukan supaya hal serupa tidak terjadi kembali. Meskipun dengan perkembangan era zaman yang modern menggilas peradaban masa lalu bagi Guru, tetapi tidak ada salahnya kita sebagai pendidik sekaligus pemangku kepentingan untuk ikhtiar untuk melakukan yang terbaik bagi dunia Pendidikan. ***