Oleh: Boby es-Syawal el-Iskandar
*Pengurus MUI Kota Sukabumi
*Dosen Institut KH. Ahmad Sanusi Sukabumi
Duka itu menyelimuti kampung, merambat dari lorong-lorong sematik Jogokariyan menuju sudut-sudut hati ribuan orang yang pernah disentuh cahayanya. Ustaz Muhammad Jazir, salah satu tokoh dan pengurus Masjid Jogokariyan Yogyakarta yang legendaris, telah berpulang. Kepergiannya bukan sekadar hilangnya satu nama dari daftar pengurus, melainkan terkoyaknya selembar kain tenun peradaban yang dengan sabar ia rajut selama bertahun-tahun di balik layar masjid yang begitu hidup itu.
Di mata dunia yang melihat penampilan, Ustaz Jazir mungkin adalah sosok yang biasa-biasa saja. Tidak selalu berkhotbah di mimbar utama, tidak dengan suara yang menggema penuh retorika, atau wajah yang sering menghiasi baliho kajian. Ia adalah sosok di balik tirai, pengeras suara yang tenang, pengatur ritme ibadah, penjaga kekhusyukan, dan pemecah masalah di tengah keriuhan takmir masjid. Ia adalah “ustaznya para ustaz” di Jogokariyan, tempat mereka bertanya dan bercermin tentang ketulusan.
Namun, pemakamannya membuka sebuah tabir rahasia. Ribuan manusia memadati setiap jengkal tanah, dari dalam pemakaman hingga ke jalan-jalan utama. Mereka datang bukan karena instruksi atau undangan resmi, tetapi karena sebuah panggilan hati yang sama: menghantar seorang kekasih Allah yang mungkin tak banyak bicara, tetapi hidupnya adalah kata demi kata yang diukir dalam amal. Lautan manusia yang tunduk dan menangis itu adalah bukti nyata dari sebuah kehidupan yang tidak diukur dari gemerlap dunia, tetapi dari kedalaman iman dan kontribusi yang menyentuh jiwa.
Fenomena ini dengan sendirinya menimbulkan apa yang bisa kita sebut sebagai “kecemburuan sosial positif”. Dalam diam, kita bertanya: “Apa rahasianya? Apa yang membuat orang biasa seperti dia dicintai sedemikian rupa?” Ini adalah kecemburuan yang suci, sebuah motivasi untuk mengejar kualitas ketakwaan yang sejati, yang berbuah bukan pada popularitas semasa hidup, tetapi pada cinta dan doa umat saat kematian.
Dan inilah pelajaran berharga yang harus kita renungkan. Kepulangan Ustaz Jazir itu istimewa, justru karena kemuliaannya dibangun dari fondasi yang “biasa” dan tulus. Mari kita lihat realitanya dengan jujur:
Beliau bukanlah seorang pejabat berkuasa yang bisa mengerahkan massa bawahannya, memobilisasi proyek, atau memerintahkan kehadiran untuk memadati pemakamannya. Tidak ada instruksi, tidak ada daftar presensi, tidak ada imbalan duniawi yang dijanjikan.
Beliau juga bukanlah seorang miliader yang bisa membeli kepura-puraan, menyewa pelayat, atau membuat sebuah upacara megah yang dikira sebagai tanda cinta. Air mata yang tumpah di pemakamannya adalah mata air yang murni, berasal dari hati yang benar-benar kehilangan, bukan dari keran imbalan materi.
Lalu, siapa dia? Dia hanyalah seorang biasa. Seorang muslim yang punya hati yang luar biasa tulus untuk memakmurkan. Dan perhatikan, “memakmurkan” di sini bukanlah kata kerja yang sempit. Ia tidak hanya sibuk memakmurkan “Rumah-Nya”, masjid, dengan kegiatan dan kebersihannya. Lebih dari itu, dengan kesederhanaan dan senyumnya, ia memakmurkan jamaah dengan rasa nyaman, memakmurkan tamu yang singgah dengan keramahan, dan memakmurkan warga di sekitar Jogokariyan dengan kepedulian yang tidak bertepuk sebelah tangan. Ia membangun istana di dalam hati orang-orang, bukan di atas tanah.
Dan inilah yang menarik perhatian langit. Jika manusia yang sibuk saja rela datang, maka yakinlah, ada yang lebih agung yang turut mengantarnya.
Di sinilah imajinasi spiritual kita diajak untuk melayang lebih tinggi. Apa yang kita saksikan dengan mata kepala—lautan manusia yang berduka—hanyalah sebagian kecil dari gambaran sebenarnya. Kita boleh “curiga”, atau lebih tepatnya, berprasangka baik dengan keyakinan, bahwa pemakamannya juga dihadiri oleh ribuan malaikat yang diutus Allah SWT.
Mereka adalah para malaikat yang datang dengan tugas mulia: mengantarkan sang hamba yang salih ini dalam perjalanan terakhirnya. Mereka mengiringinya menuju sebuah “rest area” atau tempat persinggahan mulia di alam barzakh, yang penuh cahaya dan ketenangan. Dan dari sanalah, dengan keyakinan kita, Allah telah menyiapkan untuknya “rumah” yang jauh lebih indah di sisi-Nya, sebagai balasan setimpal bagi hamba yang telah menjadikan rumah-Nya di dunia begitu hidup dan penuh makna.
Lalu, di manakah posisi kita yang masih hidup?
Lautan manusia dan keyakinan akan barisan malaikat itu bukanlah akhir cerita. Itu adalah pengalihan estafet. Ustaz Jazir telah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna di “rumah” yang ia jaga. Sekarang, giliran kita.
Pertanyaan besarnya adalah: Bisakah kita melanjutkan perjuangannya? Bukan dengan menggantikan posisinya di Jogokariyan, tetapi dengan menghidupkan “rumah-rumah lain” yang ada di sekitar kita.
Ustaz Jazir telah pergi, meninggalkan teladan yang mahal: bahwa kehebatan sejati lahir dari kesederhanaan yang diisi dengan ketulusan tanpa batas. Kepulangannya yang mulia itu patut kita cemburui, lalu segera kita ubah kecemburuan itu menjadi aksi.
Mari jadikan kepergiannya sebagai pemantik. Mulai dari hal kecil, mulai dari lingkaran terdekat. Hidupkan satu kegiatan di masjid lingkungan. Sapa dan bantu satu tetangga yang membutuhkan. Rawat satu hubungan yang renggang.
Jika kita bisa melakukannya, maka kita bukan hanya mengenangnya, tetapi menghidupkan warisannya. Dan kelak, semoga kepulangan kita pun akan membawa kecemburuan yang sama: bukan karena kerumunan dunia, tetapi karena keyakinan akan sambutan malaikat dan “rumah indah” yang telah menanti. Selamat jalan, Penjaga Mihrab. Telah kau ajarkan cara pulang yang sesungguhnya.
Untukmu yang telah membuatku cemburu. Allahummarghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. (*)

1 day ago
14
















































