Pendekatan Pendidikan di Sekolah Tomoe pada Novel 'Totto Cahan Gadis Cilik di Jendela' Menggunakan Teori Psikologi Sastra Abraham Maslow

12 hours ago 5

Pendidikan merupakan aspek fundamental dalam membentuk karakter, potensi, dan kesejahteraan psikologis anak. Namun, dalam praktiknya, sistem pendidikan formal sering kali terlalu menekankan aspek kognitif dan pencapaian akademik, sehingga mengabaikan kebutuhan emosional dan sosial peserta didik. Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menawarkan sudut pandang yang unik dan humanis terhadap dunia pendidikan melalui penggambaran sekolah alternatif bernama Tomoe Gakuen. Sekolah ini dipimpin oleh Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi yang menerapkan pendekatan pendidikan yang tidak konvensional, namun sangat peduli terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh.

Pendekatan pendidikan di Tomoe menempatkan anak sebagai subjek aktif yang bebas mengekspresikan dirinya, belajar sesuai dengan minatnya, dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan suportif. Nilai-nilai seperti kebebasan, kepercayaan, penghargaan terhadap perbedaan, serta perhatian terhadap kebutuhan dasar anak menjadi inti dari sistem pembelajaran di sekolah ini. Dalam konteks teori psikologi, pendekatan ini memiliki keterkaitan erat dengan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, yang menyatakan bahwa manusia akan berkembang secara optimal apabila kebutuhan dasarnya terpenuhi secara berjenjangmulai dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri.

Maslow menjelaskan bahwa aktualisasi diri hanya dapat tercapai apabila kebutuhan-kebutuhan sebelumnya seperti rasa aman, cinta dan rasa memiliki, serta penghargaan telah terpenuhi. Dalam novel ini, praktik pendidikan di Tomoe Gakuen memberikan ruang bagi setiap siswa untuk memenuhi seluruh lapisan kebutuhan tersebut. Anak-anak tidak hanya belajar mata pelajaran akademik, tetapi juga diberi kesempatan untuk bermain, bersosialisasi, mencipta, dan merasa diterima tanpa tekanan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia, sebagaimana digambarkan dalam Totto-chan, sangat relevan jika dianalisis melalui kerangka pemikiran Maslow.

Oleh karena itu, essai ini bertujuan untuk menganalisis pendekatan pendidikan yang diterapkan di sekolah Tomoe dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela dengan menggunakan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai alat analisis. Melalui analisis ini, diharapkan dapat dipahami bagaimana sebuah sistem pendidikan alternatif mampu memenuhi kebutuhan psikologis peserta didik dan menciptakan ruang belajar yang sehat secara emosional dan sosial. essai ini juga ingin menekankan bahwa pendidikan ideal seharusnya tidak hanya mengejar hasil akademik, tetapi juga menjamin tumbuh kembang anak secara utuh sebagai individu yang merdeka, berdaya, dan bahagia.

Sekolah Tomoe Gakuen dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela tidak hanya menawarkan sistem pendidikan yang berbeda dari sekolah konvensional, tetapi juga menunjukkan bagaimana pendidikan dapat memenuhi kebutuhan anak secara holistik. Dengan menggunakan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai pisau analisis, dapat dilihat bahwa metode pendidikan yang diterapkan oleh Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi berupaya memenuhi seluruh jenjang kebutuhan dasar manusia, dari yang paling mendasar hingga yang paling tinggi: kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang memanusiakan anak-anak berlandaskan pada pemenuhan kebutuhan psikologis mereka, bukan sekadar pada pencapaian akademik semata.

Menurut Maslow, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum individu dapat bergerak ke tingkat kebutuhan berikutnya. Dalam konteks pendidikan di Tomoe Gakuen, pemenuhan kebutuhan fisiologis tidak hanya terlihat dari penyediaan makanan, tetapi juga dari cara penyajiannya yang penuh makna. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:
“Akhirnya tibalah waktu makan siang untuk menyantap 'yang dari laut dan yang dari gunung' yang dinanti-nantikan Totto. Apa arti 'yang dari laut dan yang dari gunung' itu? Tidak lain adalah lauk-pauk bekal makan yang idenya datang dari kepala sekolah.” (hlm. 30)
Kebijakan “yang dari laut dan yang dari gunung” bukan hanya sebuah menu makan siang, melainkan bagian dari pendidikan yang sadar akan pentingnya gizi dan keseimbangan. Kepala sekolah berinisiatif menanamkan kesadaran nutrisi melalui penyebutan makanan dalam istilah yang menarik dan puitis, menjadikan kegiatan makan sebagai momen yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Dengan demikian, kebutuhan dasar mereka terpenuhi dalam suasana yang menyenangkan dan penuh perhatian, bukan sekadar rutinitas formal.
Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, anak membutuhkan rasa aman agar dapat berkembang secara optimal.

Maslow menyebutkan bahwa rasa aman mencakup perlindungan dari bahaya fisik, namun juga perlindungan emosional dari ancaman, tekanan, dan ketakutan. Di Tomoe, rasa aman ini diciptakan melalui hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan antara kepala sekolah dan para murid. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut:
“Tetapi bersama kepala sekolah ini, ia merasa aman, hangat dan menyenangkan. Ia berpikir, kalau dengan orang ini saya bisa akrab selama-lamanya.” (hlm. 22)
Kesan pertama Totto-chan terhadap Kepala Sekolah Kobayashi menunjukkan bagaimana perasaan aman dapat muncul ketika seorang anak merasa diterima tanpa syarat. Kepala sekolah tidak mempermasalahkan sifat aktif dan cerewet Totto-chan yang sebelumnya membuatnya dikeluarkan dari sekolah lama tetapi justru menyambutnya dengan sikap terbuka dan empatik. Rasa aman inilah yang memungkinkan Totto-chan membangun kepercayaan terhadap lingkungan belajar dan guru, yang dalam konteks Maslow merupakan fondasi penting bagi perkembangan selanjutnya.

Kebutuhan sosial, atau kebutuhan untuk merasa dicintai, diterima, dan menjadi bagian dari kelompok, menjadi jenjang ketiga dalam hierarki Maslow. Dalam novel ini, Tomoe Gakuen menjadi tempat di mana perbedaan diterima dan inklusivitas dipraktikkan secara nyata. Hal ini tergambar jelas dalam kutipan berikut:
“Kepala sekolah bermaksud mengajarkan kepada murid bahwa tubuh yang bagaimanapun semuanya indah… Dalam kenyataannya, anak-anak penderita cacat yang mula-mula ber-sikap malu-malu, lama-kelamaan terbiasa dan melupakan rasa malu itu karena terbenam dalam rasa senang.” (hlm. 53)
Kepala sekolah secara sadar menciptakan aktivitas bermain bersama dalam keadaan telanjang agar anak-anak, baik yang normal maupun yang memiliki keterbatasan fisik, dapat merasa setara dan diterima tanpa perbedaan. Pendekatan ini mendobrak stigma sosial dan membentuk komunitas belajar yang inklusif, di mana tidak ada yang dikucilkan. Dalam lingkungan seperti ini, setiap anak merasa memiliki tempat dan relasi sosial yang sehat. Pemenuhan kebutuhan sosial ini sangat penting dalam mengembangkan empati dan solidaritas antar individu.

Tingkat keempat dalam hierarki Maslow adalah kebutuhan akan harga diri, yang mencakup rasa dihargai, rasa percaya diri, dan pencapaian pribadi. Dalam sistem pendidikan konvensional, murid sering dipaksa mengikuti standar tertentu, namun di Tomoe Gakuen, setiap anak diberikan kebebasan untuk memilih pelajaran yang sesuai dengan minat mereka. Hal ini tergambar dalam kutipan:
“Ayo anak-anak. Kalian boleh memulai dari apa saja yang kalian sukai.” Jadi setiap murid boleh memulai dari pelajaran yang disukainya. (hlm. 28)
Dengan memberikan pilihan kepada murid, sekolah menghargai keberagaman minat dan ritme belajar masing-masing anak. Sistem ini tidak hanya membangun rasa percaya diri, tetapi juga menghindari rasa inferioritas karena tidak dipaksa menyesuaikan dengan standar yang sama untuk semua. Kepala sekolah memberi ruang bagi anak-anak untuk merasa mampu, percaya diri, dan dihargai karena menjadi diri mereka sendiri.

Puncak dari piramida Maslow adalah aktualisasi diri, yaitu realisasi penuh terhadap potensi individu. Dalam novel, hal ini tercermin dalam percakapan antara Totto-chan dan kepala sekolah mengenai impian masa depannya:
“Kalau sudah besar nanti, saya akan menjadi guru di sini. Pasti!”… “Kau janji?” Totto mengangguk dan menjawab mantap, “Saya berjanji!” (hlm. 112)
Percakapan ini menunjukkan bahwa Totto-chan telah memiliki visi akan dirinya di masa depan suatu bentuk awal dari aktualisasi diri. Yang menarik, kepala sekolah merespon dengan serius, menunjukkan bahwa impian anak dihargai sepenuhnya, dan bukan dianggap angan-angan semata. Dengan demikian, sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat yang memberi ruang aman bagi anak-anak untuk bermimpi dan merancang masa depan mereka. Ini sejalan dengan prinsip Maslow bahwa aktualisasi diri terjadi ketika individu merasa didukung untuk tumbuh, mencipta, dan memberi makna pada kehidupannya.

Berdasarkan hasil analisis terhadap pendekatan pendidikan yang diterapkan di sekolah Tomoe Gakuen dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan alternatif yang dipraktikkan oleh Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi telah berhasil memenuhi seluruh jenjang kebutuhan dasar manusia sebagaimana dikemukakan dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Pendekatan pendidikan ini menempatkan anak sebagai subjek aktif yang bebas mengekspresikan diri, serta berkembang dalam lingkungan yang aman, suportif, dan menghargai keberagaman individu. Ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan ideal adalah pendidikan yang memanusiakan manusia secara utuh.

Pemenuhan kebutuhan fisiologis diwujudkan melalui perhatian terhadap aspek paling dasar, seperti makan siang yang sehat dan menyenangkan dengan konsep “yang dari laut dan yang dari gunung”. Selanjutnya, kebutuhan akan rasa aman dipenuhi melalui hubungan yang hangat antara murid dan kepala sekolah, yang menciptakan rasa diterima dan bebas dari tekanan. Kebutuhan sosial, berupa cinta dan rasa memiliki, dibangun melalui interaksi yang inklusif, di mana tidak ada diskriminasi terhadap murid yang memiliki keterbatasan fisik. Semua anak diajak untuk bermain bersama dan merasa bahwa mereka setara.

Pada tingkat yang lebih tinggi, kebutuhan akan harga diri dipenuhi dengan cara memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih pelajaran yang mereka sukai. Hal ini membuat anak merasa dihargai, percaya diri, dan mampu mengekspresikan minatnya tanpa tekanan. Puncaknya, sekolah menjadi tempat yang mendorong tercapainya aktualisasi diri. Totto-chan, sebagai tokoh utama, diberi ruang untuk bermimpi, menyampaikan aspirasi masa depannya, dan didukung penuh oleh gurunya. Ini menunjukkan bahwa lingkungan belajar di Tomoe tidak hanya membentuk kemampuan akademis, tetapi juga membina potensi batiniah anak secara mendalam.

Dengan demikian, pendekatan pendidikan yang digambarkan dalam novel ini membuktikan bahwa ketika institusi pendidikan mampu memenuhi kebutuhan anak secara berjenjang—mulai dari kebutuhan dasar hingga aktualisasi diri—anak akan tumbuh sebagai individu yang merdeka, percaya diri, dan bahagia. Analisis ini memperlihatkan bahwa teori Maslow sangat relevan dalam menilai efektivitas sistem pendidikan yang berorientasi pada kesejahteraan psikologis peserta didik. Tomoe Gakuen bukan hanya menjadi simbol pendidikan alternatif, tetapi juga model pendidikan humanis yang patut menjadi inspirasi di masa kini.

*Penulis: Nur Azizah (Mahasiswa Prodi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |