Ketika Anak Harus Memilih: Antara Belajar atau Bertahan Hidup

18 hours ago 6

Oleh: Muhammad Iqbal

Tugas pemerintah di bidang pendidikan saat ini tidaklah mudah, banyak pekerjaan yang terus menghantui Kabinet Merah Putih terkhusus bagi Mendikbud periode tahun 2024-2029. Salah satu tugas berat yang akan diemban adalah mengurangi angka Anak Tidak Sekolah (ATS) dan putus sekolah, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat.

Dikutip dari laman retizen.republika.co.id, Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam data angka ATS jenjang pendidikan dan Jenis Kelamin pada Tahun 2022-2023” (diperbarui pada 26 Mei 2024) adalah sebanyak 0,69% pada jenjang sekolah dasar; 6,93% pada jenjang sekolah menengah pertama; dan 22,06% pada jenjang sekolah menengah atas, tidak atau belum pernah sekolah

Anak Tidak Sekolah (ATS) merupakan dimana kondisi anak yang yang berusia 5-18 tahun yang belum menyentuh bangku pendidikan atau anak yang belum mengenyam pendidikan. ATS ini menjadi permasalah yang sangat penting yang harus diselesaikan oleh pemerintah selain menekan angka anak yang putus sekolah.

Masih adanya anak tidak sekolah ini, tentunya dapat menghambat misi mewujudkan Indonesia Emas 2045, yang berefek kepada kemiskinan yang berkelanjutan, pengangguran yang tinggi, kesenjangan sosial, hingga terbatasnya pembangunan ekonomi.

Berbagai faktor yang mempengaruhi Anak Tidak Sekolah (ATS) masih tersebar hingga pelosok indonesia ini adalah: Pertama, Sistem Pendidikan di Indonesia yang Belum Inklusif. Pendidikan inklusif ini mengedapankan terwujudnya lingkungan belajar yang sangat relevan, mengurangi tingkat diskriminatif terhadap anak yang memiliki kelainan. Angka permasalahan tidak sekolah bagi anak penyandang disabilitas masih sering terjadi, ini menjadi peranan pemerintah dalam mengantisipasi putus sekolah bagi anak penyandang disabilitas.

Kedua, Faktor Geografis. Di daerah yang masih memiliki angka kemiskinan yang tinggi, Anak yang seharusnya menyentuh bangku pendidikan terpaksa membantu orang tuanya untuk bertahan hidup. Paling banyak terjadi pada anak yang bertepat tinggal di pelosok, hal ini mengharuskan mereka untuk putus sekolah bahkan tidak pernah sekolah sekolah sama kali, mereka lebih memperioritaskan membantu orang tua untuk bertahan hidup.

Ketiga, Faktor Ekonomi. Walaupun pemerintah pusat telah meluncurkan bantuan untuk anak sekolah seperti Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga beasiswa, tetapi masih saja ada anak yang putus sekolah, Hal ini dikarenakan masih adanya biaya tambahan yang harus di tanggung oleh orang tua seperti seragam, transportasi dan biaya buku. Keluarga yang masih kesulitan mencukupi biaya pendidikan cenderung memperkerjakan anaknya untuk meringankan beban keuangan keluarga.

Keempat, Ketidaktahuan Manfaat dari Pendidikan. Sebenarnya pada daerah pelosok dan keluarga tidak mampu mengetahui seberapa pentingnya manfaat pendidikan untuk masa depan. Mereka mungkin lebih terfokus kepada kebutuhan ekonomi dengan jangka pendek tanpa memikirkan manfaat jangka panjang terhadap pendidikan. Seperti anak yang putus sekolah lebih mengedepankan membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, akibatnya mereka tidak sekolah dan putus sekolah.

Permasalahan seperti ini menjadi noda tersendiri untuk pendidikan Indonesia. Dengan pelbagai solusi yang ditawarkan oleh pemerintah, namun masih terdapat kesenjangan yang terjadi pada pendidikan. Penyediaan akses pendidikan yang lebih kompleks, pemerintah harus memperhatikan kembali dan benar-benar terjun ke lapangan melihat bagaimana akses pendidikan terutama pada daerah perdesaan, Pemerintah perlu memastikan bahwa pendidikan merata mulai dari akses yang dilalui peserta didik menuju sekolah, transportasi hingga fasilitas sekolah.

Sejalan dengan itu, penerima beasiswa yang tidak tepat, Program PIP, KIP maupun beasiswa harus lebih diperhatikan agar tidak salah sasaran. Hal ini mengakibatkan sebagian peserta didik yang seharusnya mengenyam bangku pendidikan menjadi putus sekolah dikarenakan penerima beasiswa tidak tepat sasaran. Ada beberapa kasus yang mengakibatkan anak dari keluarga kaya namun dengan nilai yang biasa-biasa saja justru mendapatkan beasiswa, daripada anak yang seharusnya mendapatkan. Sistem seleksi yang tidak transparan inilah yang mengakibatkan adanya anak yang tidak sekolah.

Selanjutnya adalah pendidikan yang inklusif dan ramah anak. Perlunya sekolah menerapkan fasilitas ramah anak, termasuk kepada fasilitas bagi anak penyandang disabilitas. Pelatihan guru terhadap anak yang inklusif juga harus diperhatikan dan pentingnya penanaman rasa kepedulian terhadap sesama peserta didik, terkadang anak yang disabilitas cenderung memilih untuk tidak bersekolah dikaranekan masih mendapat tindakan diskriminatif di lingkungan sekolah dan fasilitas yang tidak mendukung untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus.

            Menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia, dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dalam membangun sistem pendidikan yang merata dan inklusif, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar. Investasi besar perlu diarahkan pada peningkatan kualitas guru, sarana prasarana, serta kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat harus diperkuat agar kebijakan pendidikan tidak hanya top-down, tetapi juga responsif terhadap kondisi lokal. Pendidikan harus menjadi alat pemerataan sosial, bukan justru memperlebar kesenjangan. Upaya ini juga harus dibarengi dengan pemanfaatan teknologi untuk menjangkau wilayah yang sulit diakses, serta program pendampingan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu agar mereka tidak terpaksa putus sekolah..

            Mari bersama-sama mengembalikan anak tidak sekolah untuk kembali bersekolah, masa depan Indonesia berada di tangan mereka, pendidikan yang baik tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Dengan Mendikbud yang baru, peserta didik, guru, orang tua dan masyarakat menaruh harapan lebih untuk pendidikan yang lebih baik, yang memastikan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar akses, tetapi juga sangat relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang bermakna dan merdeka. (*)

Muhammad Iqbal, S.Pd, guru mata pelajaran di UPT SMPN 6 Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |