Otoritas Tanpa Dialog: Sanksi Sosial sebagai Luka Akademik

13 hours ago 9

Oleh: Yulianti, Dosen Institut Citra Buana Indonesia (ICBI)

Di ruang akademik, teori mengalir bebas, konsep diuji, dan perdebatan berkembang sebagai bagian dari proses ilmiah. Namun di banyak Perguruan Tinggi dewasa ini, tidak sedikit muncul fenomena yang justru meredam sengitnya diskursus: otoritarianisme dalam bentuk sanksi sosial yang menyakitkan kepada dosen dan staf akademik. Fenomena ini bukan sekadar problem internal kampus, melainkan cerminan tantangan global terhadap kebebasan akademik dan hak sipil akademikus.

Ketika Kekuasaan Menjadi Pembungkam

Otoritarianisme dalam kampus berbeda dari otoritarianisme politik secara luas, namun pada hakikatnya keduanya berbagi ciri utama: keputusan sepihak tanpa dialog dan pemaksaan narasi tertentu sambil memarginalkan suara yang berbeda. Perguruan tinggi—yang seharusnya menjadi ruang feminasi pemikiran kritis—justru sering kali menjadi arena sanksi sosial terhadap mereka yang mengkritik kebijakan atau praktek tertentu.

Di beberapa negara demokratis sekalipun, survei global menunjukkan penurunan signifikan dalam kebebasan berbicara di kampus: sekitar 77% akademikus melaporkan adanya pembatasan kebebasan berbicara, mendorong banyak dosen untuk beralih ke self-censorship demi menghindari backlash profesional atau sosial. [The Times]

Kasus nyata juga terjadi ketika profesor di Rutgers University menerima ancaman serius dan doxxing hanya karena mengajar dan menulis tentang tema kontroversial, hingga terpaksa sementara pindah ke luar negeri demi keselamatan pribadi dan keluarganya. [The Washington Post]

Sanksi Sosial sebagai Bentuk Kontrol

Berbeda dengan sanksi formal yang melalui prosedur akademik jelas, sanksi sosial lebih halus tetapi sama efektifnya membungkam: reputasi dipertanyakan, kontribusi akademik diabaikan, ruang diskusi dipersempit, atau bahkan isolasi sosial terhadap mereka yang dianggap “mengganggu”.

Fenomena seperti ini juga diperkuat oleh penelitian akademik yang menunjukkan bagaimana praktik kekuasaan dan hubungan sosial dalam administrasi perguruan tinggi cenderung mencerminkan model pemerintahan neoliberal, di mana otoritas menjadi sarana kontrol sosial yang membatasi kebebasan berpendapat.

Dalam konteks Indonesia sendiri, tekanan terhadap kebebasan akademik juga terlihat dalam dinamika internal kampus, termasuk usaha untuk membungkam badan eksekutif mahasiswa atau kritik yang dipandang “mengganggu stabilitas”, yang kemudian memicu kecaman publik tentang kembalinya bentuk otoritarianisme baru. 

Dampak Global dan Lokal

Masalah ini bukan unik untuk satu negara. Laporan akademik menunjukkan bahwa kebebasan akademik secara global sedang mengalami penurunan di lebih dari 20 negara, di mana konflik politik berpengaruh pada otonomi universitas dan keterbukaan diskursus ilmiah.

Di Inggris, misalnya, regulator tinggi pendidikan sempat menjatuhkan denda besar kepada sebuah universitas yang dianggap gagal melindungi kebebasan berbicara staf, akibat kebijakan yang menciptakan “efek mendinginkan” debat ilmiah. ([Financial Times][6]) Dan di Amerika Serikat, sejumlah hukum tingkat negara bagian membatasi diskusi topik tertentu di kampus, yang dilihat oleh banyak akademikus sebagai ancaman terhadap kebebasan akademik.

Perguruan Tinggi Sebagai Ruang Moral dan Intelektual

Sanksi sosial yang muncul di kampus memunculkan pertanyaan besar: apa esensi sebuah perguruan tinggi? Apakah sekadar tempat reproduksi gelar dan sertifikat, atau ia tetap menjadi benteng bagi pencarian kebenaran melalui debat yang terbuka?

Dalam perspektif etika akademik, kebebasan ilmiah tidak hanya hak individual dosen atau peneliti, tetapi bagian inti dari fungsi sosial kampus untuk memperluas batas pengetahuan. Undang-undang seperti Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bahkan menegaskan bahwa kebebasan akademik merupakan fondasi penting bagi perkembangan intelektual masyarakat.

Beranjak dari prinsip ini, setiap tindakan otoriter yang membungkam kritikus atau pembahasan gagasan ilmiah—baik melalui hukuman formal maupun sanksi sosial—harus dilihat sebagai bentuk degenerasi fungsi akademik itu sendiri.

Sanksi Sosial: Luka yang Tersembunyi

Sanksi sosial di lingkungan kampus sering kali tersembunyi. Ia bukan sekadar pencabutan hak berbicara, tetapi juga delegitimasi profesi, pengucilan komunitas, dan perusakan iklim intelektual. Ketika campus leadership menempatkan otoritas di atas dialog dan kontrol di atas kolaborasi, yang terjadi adalah ruang akademik berubah menjadi medan ketakutan—bukan tempat inspirasi.

Perguruan Tinggi harus kembali ke fungsinya sebagai ruang dialog dan refleksi, bukan arena hierarki otoritarian tanpa ruang kritik. Tanpa itu, universitas bukan lagi pencipta pengetahuan, tetapi sekadar mesin pembentuk doktrin. Dan sanksi sosial—yang tak tertulis namun berbahaya—akan terus menjadi luka mendalam yang membisukan suara akademik. (*)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |