Oleh: Rehanda Galih Aprilio
“Demokrasi bisa dirampas bukan dengan senjata, tetapi dengan konsensus yang dibungkus kekuasaan.” Kalimat ini jelas bukan fiktif jika kita menatap lembar-lembar awal dari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Kabinet yang dibentuknya, sejak dini, telah mengundang perdebatan panjang, tidak semata karena nama-nama yang masuk, tetapi karena jumlah yang mencolok tergemuk sepanjang sejarah Indonesia.
Presiden Prabowo mengumumkan Kabinet Merah Putih dengan jumlah yang membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. 48 menteri, 55 wakil menteri, dan tambahan penasihat serta utusan khusus. Bila semua posisi terisi penuh, struktur ini melampaui kabinet Presiden Jokowi maupun Presiden SBY, menjadikannya kabinet terbesar sejak era Reformasi. Dalih yang digunakan cukup familiar; Indonesia adalah negara besar, luas, kompleks, dan memerlukan banyak figur untuk menjalankan mesin pemerintahan. Tapi benarkah demikian?
Di tengah semangat efisiensi yang kerap dijadikan slogan, pembentukan kabinet sebesar ini justru menandai arah sebaliknya. Logika dasar sistem presidensial mestinya sederhana, presiden memilih orang-orang terbaik untuk membantunya mencapai visi nasional. Namun, ketika jumlah menteri dan pejabat terlalu banyak, muncul anggapan yang sulit terelakkan, kabinet bukan lagi diisi oleh orang-orang ahli yang benar-benar dibutuhkan, melainkan sekadar tempat berbagi jabatan demi kepentingan politik.
Dalam analisis politik kontemporer, praktik ini disebut power sharing politics model kompromi antara penguasa dan berbagai kekuatan politik untuk menjaga stabilitas. Di permukaan, ini mungkin tampak pragmatis. Namun di balik itu, ia menyimpan paradoks demokrasi bahwa kekuasaan yang didapat lewat mandat rakyat, malah dikelola layaknya persekutuan bisnis. Kursi menteri ditukar dengan suara, dan loyalitas dibayar lunas dengan jabatan. Maka menjadi masuk akal jika kita menaruh curiga, bahwa banyak figur dalam kabinet bukan dipilih karena kecakapan teknokratis, tapi karena akomodasi politik belaka.
Konsekuensinya tidak main-main. Kabinet yang terlalu besar tidak hanya membebani APBN dengan gaji, tunjangan, rumah dinas, staf ahli, kendaraan dinas, hingga biaya operasional yang menyertainya, tetapi juga berisiko menciptakan birokrasi tambun yang lamban. Koordinasi antar kementerian menjadi tantangan tersendiri. Proses pengambilan kebijakan rawan tersendat karena terlalu banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan. Pada titik ini, publik bukan hanya menanggung beban biaya, tetapi juga menanggung resiko kebijakan yang tidak presisi.
Ironisnya, situasi ini terjadi ketika negara tengah menghadapi tantangan ekonomi, dari potensi resesi global hingga ketimpangan fiskal dalam negeri. Pemangkasan anggaran melalui Inpres 1/2025 bahkan telah memangkas belanja kementerian lembaga sebesar Rp 306 triliun. Di saat efisiensi diharuskan di sektor-sektor penting seperti pendidikan, riset, hingga kesehatan, keputusan membengkakkan kabinet jelas tidak sejalan dengan semangat penghematan. Ini seperti memotong dapur rakyat tapi memperbesar ruang makan elite.
Tentu kita tidak bisa sepenuhnya menolak representasi politik dalam kabinet. Sebuah pemerintahan tidak bisa steril dari kompromi. Tapi ketika kompromi itu mengorbankan akal sehat birokrasi dan mengikis kepercayaan publik, maka yang terjadi bukan stabilitas, melainkan stagnasi. Demokrasi akan kehilangan makna jika yang diprioritaskan bukan aspirasi rakyat, melainkan jatah kekuasaan.
Presiden Prabowo, dalam berbagai pidatonya, mengusung semangat kebangsaan, gotong royong, dan perbaikan nasib rakyat kecil. Namun, harapan itu akan tinggal retorika jika struktur kekuasaan yang dibentuk justru menjauh dari semangat efisiensi dan keberpihakan pada publik. Apalagi jika dalam praktiknya, kementerian yang diisi justru tumpang tindih fungsi atau bahkan diketuai oleh sosok yang tidak memiliki latar belakang kompeten.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, rakyat bukan sekadar penonton. Mereka adalah pemilik sah republik ini. Maka sebagai masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan kalangan yang berpendidikan, kita harus menjaga jarak kritis terhadap setiap langkah kekuasaan. Kabinet gemuk bukan sekadar angka, ia adalah cerminan niat dari kekuasaan. Apakah ia datang untuk bekerja, atau sekadar bagi-bagi.
Pada akhirnya, pemerintahan akan diuji bukan oleh jumlah menterinya, tapi oleh hasil kerjanya. Sejarah tidak mencatat siapa yang paling banyak duduk di kabinet, tapi siapa yang berhasil membawa perubahan nyata bagi rakyatnya. Maka tugas kita bersama hari ini adalah memastikan bahwa kekuasaan tidak berjalan tanpa pengawasan, dan bahwa demokrasi tidak diam-diam direduksi menjadi pasar jabatan. (*)
Rehanda Galih Aprilio, Mahasiswa UIN Imam Bonjol, Padang