BANDUNG — Gunung Tangkuban Perahu di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Subang, masih mengalami peningkatan aktivitas berupa gempa hembusan antara 21-37 kejadian dan gempa frekuensi rendah mencapai 134 kejadian.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Muhamad Wafid, di Bandung, Selasa, mengatakan data tersebut didapatkan dari rekaman kegempaan pada 30 Mei hingga 2 Juni 2025, dengan hasil pemantauan deformasi lewat metode Electronic Distance Measurement (EDM) dan Global Navigation Satellite System (GNSS) juga menunjukan pola inflasi atau terjadi peningkatan tekanan pada tubuh gunung.
Wafid menerangkan dengan curah hujan saat ini di sekitar Tangkuban Perahu yang tinggi, ditambah sifat dari gunung ini dengan gempa frekuensi rendahnya, kemungkinan akan ada perambatan panas magma melewati batuan atau material vulkanik penyusun tubuh gunung api, dan akan memanasi sistem air tanah di dalam tubuh gunung api.
“Pada kondisi tersebut air dapat mengalami pemanasan yang ekstrim (super heating), menghasilkan uap dengan tekanan sangat tinggi, dan akhirnya terjadi erupsi freatik,” kata Wafid.
Gempa berfrekuensi rendah ini mengindikasikan aktivitas pergerakan fluida di kedalaman dangkal atau dekat permukaan dan peningkatannya berkorelasi dengan peningkatan intensitas hembusan gas yang dapat terjadi karena perubahan (akumulasi) tekanan di kedalaman dangkal. Akan tetapi indikasi akumulasi tekanan dari magma-dalam belum teramati.
“Namun demikian, hingga saat ini tingkat aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Perahu masih berada pada Level I (Normal), ditandai dengan aktivitas hembusan asap dari Kawah Ratu berwarna putih dengan intensitas tipis hingga tebal, dengan ketinggian 5-120 m di atas dasar kawah,” ujarnya.
Meski normal, Badan Geologi mengingatkan ada potensi bahaya berupa erupsi freatik, yakni yang terjadi tanpa ada peningkatan gejala vulkanik yang signifikan. Dan jika terjadi dapat disertai hujan abu dan lontaran material di sekitar kawah.
Sehingga, masyarakat dan pengunjung Tangkuban Parahu, diminta tidak mendekat ke dasar kawah, tidak berlama-lama dan tidak menginap di area kawasan kawah-kawah aktif di sana.
Kemudian segera meninggalkan area sekitar kawah jika teramati peningkatan intensitas/ketebalan asap kawah dan/atau jika tercium bau gas yang menyengat guna menghindari potensi bahaya paparan gas beracun maupun erupsi freatik.
“Masyarakat sekitar Tangkuban Perahu diharapkan tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa. Jangan terpancing oleh isu-isu mengenai erupsi, serta selalu ikuti perkembangan dan arahan terkait aktivitas gunung dari sumber resmi,” ujar dia.
Evaluasi tingkat aktivitas Gunung Tangkuban Perahu, kata Wafid, akan dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila terjadi perubahan signifikan.Pemda, BPBD provinsi dan kabupaten juga diharapkan senantiasa berkoordinasi dengan Pos Pengamatan Gunung api Tangkuban Perahu di Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat atau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Bandung guna mengantisipasi segala kemungkinan.
Tangkuban Parahu diketahui memiliki sembilan kawah, dengan dua yang utama berada di area puncak, yakni Kawah Upas dan Kawah Ratu yang sering menjadi asal dari letusan freatik.
Aktivitas erupsi terakhir pada gunung yang sering dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri ini, terjadi pada tahun 2019 dengan diawali erupsi freatik dari Kawah Ratu pada tanggal 26 Juli pukul 15:48 WIB.
Dan seiring meningkatnya tingkat kejadian aktivitas erupsi yang cukup signifikan, sejak tanggal 2 Agustus 2019 pukul 08:00 WIB status Tangkuban Perahu ditingkatkan menjadi Level II (Waspada) yang diberlakukan hampir tiga bulan, sampai aktivitas vulkanik mengalami penurunan dan statusnya menjadi level I (Normal) kembali pada tanggal 21 Okober 2019 pukul 09:00 WIB.(*)