Penegakan hukum merupakan fondasi utama dalam menjamin keadilan dan kestabilan sosial di suatu negara hukum. Namun, dalam praktiknya, hukum kerap kali dipersepsikan tidak berjalan secara adil dan merata, terutama ketika melibatkan aktor-aktor dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda. Dalam negara Indonesia, ketimpangan dalam penegakan hukum menjadi isu krusial yang terus berulang, khususnya dalam hal disparitas vonis antara pelaku korupsi dari kalangan pejabat dan pelanggar hukum dari kalangan masyarakat biasa.
Banyak sekali kasus–kasus yang sepele namun dibesar-besarkan oleh media akibat adanya ketidakadilan hukum di Indonesia atau dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas” maksud dari istilah tersebut merupakan salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kecil. Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang kelas atas adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar, atau dalam istilah hukum “timpang sebelah”.
Seperti halnya dapat kita soroti kasus nenek yang mencuri kayu bakar yang paling dikenal adalah kasus Nenek Asyani. Ia didakwa mencuri kayu jati dari Perhutani, meskipun ia berdalih kayu itu berasal dari lahannya sendiri. Kasus ini memicu kritik karena dianggap tidak proporsional dan menyentuh isu supremasi hukum yang dianggap lemah. Disini penulis setuju apapun bentuk tindakan mencuri adalah sebuah kesalahan.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa hukum juga memiliki prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusian ini didalam hukum humaniter adalah Asas Equality Before The Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet).
Perbedaan perlakuan hukum ini menciptakan krisis kepercayaan publik terhadap institusi peradilan dan memperkuat stigma bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam banyak kasus, vonis terhadap koruptor yang notabene berasal dari kalangan elit politik atau birokrasi justru cenderung ringan, meskipun kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan berdampak luas terhadap masyarakat.
Sebagai contoh, kasus korupsi yang belakangan ini ramai menjadi perbincangan menduduki posisi pertama dengan perkiraan kerugian mencapai Rp 968,5 triliun. Awalnya Kejaksaan Agung menyebut kasus korupsi di PT Pertamina mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun pada tahun 2023. Namun, karena kasus ini berlangsung sejak 2018 hingga 2023, jumlah kerugian berpotensi meningkat, bahkan bisa mendekati Rp 1 kuadriliun. Bahkan masih banyak kasus-kasus besar lainnya diluar sana yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah yang bahkan sampai sekarang ini entah bagaimana kejelasannnya, hilang begitu saja tanpa adanya keterbaharuan atau perkembangan atas penyelidikan kasus-kasus tersebut.
Sebaliknya, masyarakat biasa yang melakukan pelanggaran hukum seperti pencurian kecil atau pelanggaran administratif justru dijatuhi hukuman yang lebih berat dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama dalam proses hukum.
Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural dalam sistem peradilan pidana, yang mencerminkan lemahnya prinsip egalitarianisme dalam hukum. Penulis berpendapat bahwa ketimpangan ini tidak hanya disebabkan oleh kelemahan dalam peraturan hukum semata, tetapi juga karena pengaruh kekuasaan, modal sosial, serta akses terhadap sumber daya hukum yang tidak merata. Pejabat atau elit yang terjerat kasus hukum seringkali memiliki akses kepada tim hukum profesional, jaringan politik, dan bahkan pengaruh terhadap aparat penegak hukum, sementara masyarakat biasa tidak memiliki daya tawar yang setara dalam menghadapi sistem hukum.
Secara sosiologis, ketimpangan ini juga dapat dilihat sebagai bentuk dari kekuasaan struktural yang bekerja dalam institusi hukum. Michel Foucault dalam teorinya mengenai kekuasaan dan pengetahuan menyatakan bahwa hukum tidak pernah netral, melainkan menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang menentukan siapa yang layak dihukum dan bagaimana hukuman tersebut dijalankan. Dalam konteks ini, hukum dapat menjadi alat legitimasi kekuasaan bagi kelompok dominan, yang dalam hal ini adalah pejabat publik atau kelompok elite. Dengan demikian, hukum digunakan bukan untuk menjamin keadilan substantif, melainkan untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Ketimpangan penegakan hukum juga diperkuat oleh lemahnya fungsi lembaga pengawasan dan akuntabilitas. Komisi Yudisial, Ombudsman, dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap kali menghadapi tekanan politik ketika menangani kasus yang menyentuh elite kekuasaan. Reformasi hukum yang diharapkan membawa perubahan pun acap kali mandek atau bahkan dibajak oleh kepentingan politik praktis.
Salah satu bukti adalah pelemahan KPK melalui revisi UU KPK tahun 2019, yang secara signifikan mengurangi independensi lembaga tersebut dan berdampak langsung terhadap kinerja pemberantasan korupsi. Tidak hanya itu, media massa dan opini publik juga turut berperan dalam membentuk persepsi tentang ketidakadilan ini.
Banyak kasus korupsi pejabat yang mendapat sorotan media justru berakhir dengan hukuman ringan, sementara pelanggaran hukum kecil oleh rakyat kecil menjadi bahan pembenaran bagi sistem hukum yang represif. Media seharusnya berfungsi sebagai kontrol sosial dan instrumen advokasi keadilan, namun dalam praktiknya tidak jarang terjadi bias pemberitaan yang memperkuat citra negatif masyarakat kecil sebagai pelaku kejahatan.
Jika dilihat dari sisi normatif, ketimpangan vonis ini jelas bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan prinsip-prinsip hukum universal. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Namun dalam implementasinya, asas ini belum sepenuhnya terefleksi dalam praktik peradilan.
*Penulis: Saidul Aziz Mahendra (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)