Bencana Aceh dan Sumatera: Teguran untuk Siapa?

8 hours ago 7

Oleh: Boby es-Syawal

Gelombang banjir bandang yang menerjang Aceh dan Sumatera Utara bukan sekadar peristiwa hidrometeorologis. Di balik derasnya air yang menyapu permukiman, tersimpan sebuah pertanyaan fundamental yang mengguncang nurani: “Bencana ini teguran untuk siapa?” Apakah ia hanya “takdir” yang harus ditanggung korban di hilir, ataukah ada rangkaian sebab-akibat yang melibatkan tanggung jawab kolektif kita semua?

Sebagai masyarakat beriman, kita diajak melihat melampaui fakta material. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rum ayat 41:

“Telah tampak kerusakan (al-fasad) di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ayat ini menempatkan bencana ekologis dalam kerangka tanggung jawab manusiawi. Kata kuncinya: “bima kasabat aydin-nas” (disebabkan perbuatan tangan manusia). Ini adalah pertanyaan sekaligus pernyataan. Teguran ini tidak buta. Ia memiliki alamat. Lalu, siapa saja “tangan-tangan” itu?

Membaca Sinyal dari Langit dan Bumi

Bencana adalah sistem peringatan dini (early warning system) dari alam yang sudah mencapai titik kritis. Hutan gundul di hulu, sungai tersumbat sampah dan sedimentasi, dan alih fungsi lahan secara masif adalah bentuk nyata “fasad di darat”. Ketika hujan tinggi datang, alam yang sudah sakit itu tak lagi mampu menahannya. Maka terjadilah banjir bandang.

Namun, menunjuk “alam” sebagai tertuduh utama adalah pengaburan masalah. Alam hanya menjalankan hukum kausalitas (sunnatullah). Masalahnya terletak pada tangan-tangan yang menggerakkan mesin pengrusakan itu. Teguran Allah melalui bencana ini adalah teguran multi-level, yang menyasar setiap lapisan dengan proporsinya.

Untuk Kita, Masyarakat di Hilir dan Perkotaan

Kita yang biasa membuang sampah sembarangan, mengonsumsi secara berlebihan, dan acuh pada pelestarian lingkungan adalah bagian dari masalah. Setiap plastik yang terbawa ke sungai, setiap permintaan akan produk yang mengharuskan pembukaan lahan baru, adalah partisipasi dalam rantai “fasad”. Bencana mengingatkan kita bahwa gaya hidup konsumtif dan tidak ramah lingkungan memiliki konsekuensi nyata yang bisa kembali menghantam kita. Sabda Rasulullah SAW tentang seorang yang dicampakkan ke neraka karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati (HR. Bukhari), menjadi peringatan keras betapa dosa terhadap makhluk dan alam tidaklah ringan.

Untuk Pengusaha dan Korporasi Penjarah Alam

Inilah level yang sering kali menjadi episentrum kerusakan. Pengusaha pemegang konsesi hutan (HPH/IUPHHK) yang melakukan pembalakan habis (clear-cutting) tanpa reboisasi berarti adalah aktor utama penggundulan hutan. Praktik mereka mengubah hutan hujan tropis yang merupakan penyangga kehidupan menjadi ladang monokultur rentan erosi. Mereka mengejar keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan keselamatan ribuan orang di hilir. Kebijakan yang lemah dan pengawasan yang lunak sering menjadi “partner dalam kejahatan” ini. Bagi mereka, bencana ini adalah teguran paling gamblang: kerakusan akan berujung pada kehancuran yang melibatkan banyak nyawa tak bersalah.

Untuk Pembuat dan Penegak Kebijakan

Pemerintah dan pemangku kebijakan adalah pihak yang paling banyak dipertanyakan. Pemberian izin yang mudah (karena adanya praktik KKN), tumpang-tindih, dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan adalah bentuk kebijakan yang memfasilitasi “fasad”. Lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan perusak hutan, sanksi yang tidak membuat jera, dan inkonsistensi dalam moratorium hutan adalah bukti kegagalan negara sebagai pelindung rakyat dan alamnya. Banjir bandang ini adalah cermin kegagalan tata kelola ruang dan lingkungan. Ia adalah teguran keras: pembangunan tanpa kearifan ekologis adalah pembangunan menuju bencana.

Sabar dalam Bingkai Keadilan

Di tengah situasi ini, konsep sabar harus dimaknai secara komprehensif. Bagi korban, sabar adalah kekuatan untuk bertahan, berikhtiar, dan bangkit. Bagi kita yang melihat, sabar adalah bahan bakar untuk solidaritas tanpa henti.

Namun, sabar yang sesungguhnya juga menuntut kita untuk tidak sabar terhadap ketidakadilan. Sabar bukan berarti menerima saja ketika hutan digunduli secara ilegal. Sabar bukan berarti diam ketika kebijakan salah mengorbankan rakyat. Sabar dalam konteks kolektif adalah keteguhan untuk memperjuangkan perbaikan (ishlah) sistemik. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Mengubah kemungkaran perusakan lingkungan adalah bagian dari kesabaran yang aktif.

Dari Teguran Menuju Perbaikan

Teguran hanya akan menjadi kutukan jika tidak direspons dengan perbaikan. Momentum kepiluan ini harus diubah menjadi energi perubahan.

Pertama. Respons individu dan komunitas:
· Taubat Ekologis: Mengubah gaya hidup, mengurangi jejak karbon, disiplin mengelola sampah, menanam pohon.
· Solidaritas Aktif: Terus membantu korban hingga pulih sepenuhnya.
· Pendidikan dan Advokasi: Menyadarkan keluarga dan komunitas tentang kaitan iman dengan kelestarian alam.

Kedua. Desakan terhadap Korporasi dan Pengusaha:
· Mendorong Akuntabilitas: Menuntut perusahaan pengelola hutan dan lahan untuk memublikasikan laporan keberlanjutan dan rencana reboisasi yang transparan.
· Kampanye Konsumen: Memilih produk dari perusahaan yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan dan menolak produk yang terkait dengan perusakan hutan.
· Dukungan pada Model Bisnis Hijau: Mendukung koperasi dan UMKM yang berbasis pada pemanfaatan hutan berkelanjutan (non-kayu).

Ketiga. Tuntutan terhadap Negara dan Kebijakan:
· Moratorium dan Audit Total: Mendesak moratorium izin baru di ekosistem kritis dan audit menyeluruh terhadap semua konsesi yang ada. Konsesi yang melanggar harus dicabut dan direhabilitasi dengan dana perusahaan.
· Reformasi Hukum: Mendukung revisi UU untuk memasukkan sanksi pidana berat dan denda restoratif bagi korporasi perusak lingkungan. Mengusung konsep ekosida (ecocide) sebagai kejahatan serius.
· Penegakan Hukum yang Independen: Mendesak pembentukan lembaga penegak hukum lingkungan yang kuat, independen, dan bebas dari intervensi politik dan bisnis.
· Transparansi dan Partisipasi: Memastikan peta izin dan data pengawasan dibuka untuk publik (One Map Policy yang akuntabel). Memperkuat peran masyarakat adat dan lokal sebagai penjaga hutan.
· Pembangunan Berkelanjutan: Mengalihkan insentif dari industri ekstraktif ke ekonomi hijau berbasis jasa lingkungan, ekowisata, dan energi terbarukan.

Jadi, bencana Aceh dan Sumatera: teguran untuk siapa? Jawabannya: UNTUK KITA SEMUA.

Untuk kita masyarakat yang lalai menjaga kebersihan dan kelestarian.
· Untuk kita pengusaha yang rakus dan menghalalkan segala cara.
· Untuk kita pemegang kebijakan yang abai dan tidak berani menegakkan keadilan.
· Dan terutama, untuk kita sebagai umat yang sering melupakan pesan Al-Qur’an tentang zhaharal fasad.

Teguran ini akan sia-sia jika kita saling menyalahkan tanpa introspeksi, atau hanya berhenti pada ritual keprihatinan sesaat. Air bah akan surut, tetapi pertanyaan dan tanggung jawab itu tetap menggenang.

Marilah kita jadikan musibah ini sebagai titik tolak untuk “yarji’un” – kembali. Kembali kepada fitrah sebagai khalifah yang memelihara, bukan merusak. Kembali kepada keadilan yang melindungi yang lemah. Kembali kepada keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah.

Perubahan dimulai dari kesadaran yang pahit, diperkuat oleh sabar yang tangguh, dan diwujudkan dalam aksi kolektif yang berani dan sistematis. Hanya dengan cara itu, kita bisa merespons teguran ini dengan tepat dan mencegah siklus “fasad” dan bencana berulang di masa depan.

Semoga Allah memberi ketabahan kepada para korban, mengampuni dosa-dosa kita, dan memberi kita kekuatan untuk memperbaiki diri dan sistem yang kita bangun bersama. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |