Saya selalu ingin cari tiket paling murah. Tidak mudah. Berarti saya harus berubah. Beijing Amerika Gaya bepergian saya selama ini tidak cocok di era penghematan. Pergi serba mendadak memang bisa terbentur kenyataan di lapangan: sulit dapat tiket murah.
Pernah, saya mencoba berubah: membuat perencanaan agak jauh-jauh hari. Dua bulan sebelumnya. Jatuhnya lebih mahal. Buang tiket. Jadwal berubah. Beli tiket baru. Justru dua kali beli tiket.
Sebenarnya bukan jadwal yang berubah. Kadang keinginan yang berubah. Misalnya, dalam jadwal tidak ada rencana ke kota Datong. Tiba-tiba ingat ”dendam” lama: ingin tahu lokasi proyek kereta 1.000 km/jam.
Lalu tiba-tiba muncul keinginan ke Kazakhstan. Mumpung sudah di Beijing. Sudah lebih dekat. Tinggal lima jam penerbangan.
Itu gara-gara terbaca berita bahwa ke Kazakhstan tidak perlu lagi visa. Saya ingin tahu Kazakhstan. Belum pernah ke sana. Toh dari Beijing saya harus ke New York. Toh belum punya tiket pesawat. Masih fleksibel. Apa salahnya lewat Kazakhstan. Toh satu garis menuju New York. Hanya saja ke arah barat.
Bagaimana kalau tidak ada tiket sambungan dari Kazakhstan ke New York? Lihat peta lagi. Bisa mampir Beograd. Sekalian melihat seperti apa ibu kota Serbia itu setelah Yugoslavia bubar.
Sudah 45 tahun tidak ke Serbia. Terakhir ketika ikut Presiden Soeharto ke KTT Non Blok. Tahunnya sudah lupa –saking lamanya.
Bagaimana kalau dari Beograd tidak ada pesawat jurusan New York? Lihat peta. Bisa lewat Belarusia. Saya juga belum pernah ke negeri itu. Yang paling murah tentu lewat Frankfurt atau Paris. Tapi itu tidak menambah titik kunjungan.
Akhirnya ke Kazakhstan itu batal. Untung belum beli tiket. Ke Datong lebih penting. Maka ke Datong saja.
Waktu ke New York pun kian mepet. Apa boleh buat. Lewat arah timur saja. Juga lebih murah.
”Lebih murah” itu sebenarnya masih mahal juga untuk ukuran dibandingkan dengan dulu. Saya pun mengeluh. Kok sekarang pergi-pergi lebih mahal.
Terpaksa saya banding-bandingkan: penerbangan apa yang paling murah. Lalu rute mana yang paling miring.
Pilihannya: Cathay Pacific (lewat Beijing-Hong Kong-New York), All Nippon Airways (Beijing-Tokyo-New York), Japan Airlines (Beijing-Tokyo-New York), atau Korean Air (Beijing-Seoul-New York).
Saya lirik juga harga tiket kalau lewatnya ke arah barat. Ada Emirate (Beijing-Dubai-New York). Atau Qatar Airways (Beijing-Doha-New York). Harganya dua kali lipat.
Akhirnya pilihan jatuh ke Cathay –yang lewat Hong Kong. Hampir Rp 10 juta lebih murah. Cepat-cepat saya putuskan. Kalau cari-cari terus keburu harganya naik lagi.
Setelah keputusan dibuat rasanya lega. Rasanya seperti baru saja berhasil membuat langkah penghematan yang besar.
Padahal selisih Rp 10 juta itu belum tentu riil. Pesawat dari Beijing terbangnya sore. Tiba di Hong Kong sudah pukul 20.00. Sedang pesawat Hong Kong ke New York masih besoknya, tengah hari.
Tidak masalah. Saya bisa tiduran di business lounge Cathay. Toh enak sekali. Luas. Makanan apa saja ada. Mulai mie wonton sampai nasi goreng.
Apalagi jenis minumannya. Banyak banget –meski akhirnya hanya minum air putih hangat.
Ada Wi-Fi. Banyak sofa, kursi untuk tiduran, kursi bar. Bisa mandi. Kamar mandinya banyak. Lengkap dengan peralatan mandi sampai handuknya.
Satu malam di situ tidak akan terasa. Paginya bisa mandi lagi. Toh hanya membawa satu tas kecil.
Memang ada hotel di dekat bandara. Regal. Tinggal jalan kaki. Tapi harus pasporan. Juga harus bayar. Padahal sudah telanjur bangga baru saja bikin keputusan besar telah berhasil menghemat Rp 10 juta.
Ternyata, setelah mandi malam, saya baru tahu lounge itu tutup pukul 01.30. Baru akan buka lagi pukul 05.00.
Setelah makan-makan saya lihat jam di HP: sudah pukul 23.00. Tidak berani tidur lesehan di kursi. Khawatir keterusan. Ya sudah, menulis naskah untuk Disway saja.
Setelah ”terusir” di pukul 01.30 saya ke ruang tunggu di dekat gate. Ada ratusan kursi yang kosong. Bisa sandaran di kursi di ruang tunggu ekonomi. Toh banyak juga penumpang yang senasib. Bahkan beberapa wanita bule tidur di lantai dengan pulasnya. Lantai karpetnya tebal.
Walhasil satu malam suntuk tidak bisa tidur. Baru untung Rp 10 juta, sudah rugi entah berapa juta –kalau saja jatuh sakit.
Pukul 05.30 balik lagi ke business lounge. Mandi. Sarapan. Killing time. Tahan kantuk. Toh akan 15 jam di dalam pesawat. Bisa balas dendam tidur pulas di pesawat –tanpa takut diusir keluar. Makanya saya sarapan dengan kenyangnya. Mumpung gratis. Perasaan saya itu gratis. Padahal sudah include di dalam tiket. Dengan sarapan kenyang saya bisa berpesan ke pramugari: kalau tertidur jangan dibangunkan –untuk makan.
Saya pun tidur pulas. Sampai mimpi betapa hebat penghematan Rp 10 juta yang bisa saya lakukan. Jangan-jangan saya tersenyum-senyum saat mimpi itu.
Bangun tidur saya ingat: belum memilih komentar pilihan. Padahal batas waktunya sudah mepet. Rasanya saat itu posisi pesawat sudah di atas Rusia timur.
Tenang saja. Saya bisa baca komentar perusuh di dalam penerbangan ini. Ada Wi-Fi gratis. Jos pula. Maka segera saya senyum-senyum sendiri. Begitu beragam komentar hari itu. Begitu banyak yang usil dan jenaka. Saya perhatikan, isi komentar kian bermutu. Kadang sulit untuk tidak melanggar batas 20 pilihan.
Turun di bandara JFK tidak banyak antrean di depan saya. Cepat-cepat menuju loket imigrasi. Sepi. Kenapa tidak banyak orang begini. Padahal ini pukul 12.30.
Saya di antrean orang ke lima. Loket yang buka dua. Tidak sampai lima menit sudah dapat giliran maju ke loket.
Saya sudah menyiapkan jawaban yang sapu jagat kalau-kalau ditanya ”untuk apa ke Amerika”.
Benar. Ditanya itu.
“Indy 500,” jawab saya.
“Lima hari lagi ya,” celetuknya.
Dok. Paspor distempel. Tidak ditanya mana bukti pembelian tiket balap mobilnya.
Begitu cepat. Begitu kilat. Jauh dengan yang dibayangkan orang di luar Amerika. Sampai-sampai yang menjemput saya baru akan tiba 30 menit lagi.
Tidak masalah. Udara lagi sangat sejuk. Di luar pintu bandara juga sangat sepi. Saya pun olahraga senam secukupnya. Saya pilih gerakan-gerakan yang saya hafal pun bila tanpa musik.
Olahraga setengah jam terasa kurang. Udara begitu sejuk, perjalanan begitu lancar. Semua itu, dan jemputan gratis itu, membuat saya merasa telah beruntung lebih dari Rp 10 juta. (Dahlan Iskan)