Gambaran Kampung Kayu Pasak di Palembayan dari video yang beredar sangat memilukan dan membuat sedih yang mendalam dengan kondisi kampung setelah terkena bencana air bah dengan terkikis, terendam, dan hancur seperti kampung yang ditelan bumi bukan sekadar visual tragis dari bencana alam. Ia adalah penanda bahwa ada ruang-ruang yang hilang, baik secara fisik maupun sosial, ketika air bah yang meluap dari sungai menabrak permukiman yang selama puluhan tahun berdiri di tempat yang sama. Dalam ingatan kolektif masyarakat, belum pernah kejadian seburuk ini menimpa daerah tersebut. Artinya, kita sedang berhadapan dengan fenomena baru yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan menyebut “curah hujan tinggi” sebagai penyebab tunggal.
Perubahan karakter tanah, hilangnya tutupan vegetasi, penggundulan hutan, serta akumulasi tekanan ekologis yang terjadi perlahan-lahan—semua itu menjadikan permukaan tanah tak lagi mampu menahan air. Inilah titik krusial yang jarang masuk dalam percakapan publik. Bencana tidak lahir tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari faktor yang saling memperparah satu sama lain. Untuk itu, diperlukan kajian reka kejadian yang komprehensif demi memahami bagaimana rantai sebab-akibat tersebut bekerja hingga menghasilkan tragedi sebesar ini.
Mengapa Reka Kejadian Menjadi Perangkat Penting
Reka kejadian atau event reconstruction merupakan metode ilmiah yang memetakan kembali alur terjadinya bencana, dari faktor awal hingga dampak akhir. Dalam konteks Kampung Kayu Pasak, reka kejadian bukan hanya memetakan besarnya curah hujan, tetapi juga menilai seberapa kuat daya dukung tanah, fungsi hutan sebagai penyangga air, pola aliran sungai, perubahan bentuk lahan, hingga aktivitas manusia yang mempercepat degradasi lingkungan. Reka kejadian memberikan gambaran utuh: bukan sekadar apa yang terjadi, tetapi mengapa hal itu bisa terjadi pada level yang demikian parah.
Sayangnya, kajian semacam ini belum menjadi standar operasional di banyak daerah rawan bencana. Padahal, tanpa kajian ilmiah yang rinci, kita hanya akan menumpuk dugaan dan menata ulang kerusakan tanpa menyelesaikan akar masalahnya. Reka kejadian bersifat prediktif dan antisipatif, bukan reaktif. Ia menyusun ulang puzzle bencana agar pemerintah daerah, lembaga penanggulangan bencana, dan masyarakat memahami risiko nyata yang mereka hadapi.
Belajar dari Bencana Banjir Bandang yang terjadi
Peristiwa banjir bandang seperti di Lembah Anai beberapa waktu lalu seharusnya menjadi alarm keras bagi Sumatera Barat. Bencana yang dipicu oleh luapan Sungai Batang Anai itu mengingatkan bahwa daerah ini memiliki pola bahaya yang semakin kompleks, yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan pola lama. Kejadian bencana seperti di Lembah Anai dan Palembayan—memiliki kesamaan: debit air yang melebihi kapasitas, terbawanya material kayu dan lumpur dalam jumlah masif, serta perubahan struktur alam yang mengubah arah dan kecepatan aliran air.
Jika dua kejadian besar ini terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, kita tidak dapat lagi menyebutnya sebagai kebetulan. Ada pola besar yang sedang bergerak: entah perubahan iklim, penurunan fungsi hutan, pembukaan lahan, atau tata ruang yang tidak lagi selaras dengan karakter alam. Reka kejadian menjadi jembatan untuk mendeteksi pola ini secara ilmiah. Tanpa kajian tersebut, kita akan terus meraba-raba, berjalan dalam gelap, dan menunggu bencana berikutnya terjadi dengan daya rusak yang mungkin lebih besar.
Ilmu Pengetahuan sebagai Dasar Kebijakan
Kebijakan penanggulangan bencana yang tidak berbasis data hanya akan menghasilkan tindakan seremonial dan respons instan. Dalam kasus Kampung Kayu Pasak, penyelidikan mendalam mengenai kondisi geologis, hidrologi, dan ekologi sangat diperlukan. Ilmu pengetahuan menyediakan alat bagi pemerintah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah alur sungai mengalami penyempitan? Apakah hutan di hulu mengalami penurunan fungsi? Apakah permukiman berada di wilayah bahaya tinggi yang sejak awal tidak cocok dihuni? Jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa ditemukan melalui kajian reka kejadian.
Reka kejadian juga membantu menentukan prioritas anggaran dan program. Pemerintah tidak lagi menebak-nebak lokasi rawan, juga tidak lagi mengalokasikan dana pada program yang tidak relevan. Semua langkah menjadi terukur. Dengan pendekatan ilmiah, tata kelola risiko bencana bisa masuk ke tahap baru: dari respon darurat yang berulang-ulang menjadi perencanaan jangka panjang yang berkelanjutan.
Membangun Peta Kerentanan Baru
Perubahan lingkungan di banyak daerah tidak lagi linier. Daerah yang dulu aman kini menjadi rawan, sementara area yang selama ini dianggap stabil mulai memperlihatkan gejala ketidakmampuan menahan tekanan air. Reka kejadian membuka jalan bagi pemetaan ulang kerentanan wilayah. Dengan kajian tersebut, daerah seperti Palembayan bisa memahami sejauh mana struktur lingkungan mereka telah berubah, dan bagaimana perubahan itu mempengaruhi risiko bencana.
Pemetaan ini sangat penting untuk menentukan apakah pemukiman tertentu harus direlokasi, apakah alur sungai perlu dinormalisasi, apakah area-area tertentu harus dipulihkan vegetasinya, atau apakah ada titik kritis di hulu yang menuntut intervensi segera. Tanpa peta kerentanan baru, masyarakat akan terus tinggal di area risiko tinggi tanpa pernah benar-benar memahami bahaya yang mengintai.
Masyarakat dan Pemerintah sebagai Elemen Utama Pencegahan
Masyarakat dan pemerintah adalah subjek utama yang merasakan dampak bencana, sekaligus aktor penting dalam upaya pencegahannya. Namun, masyarakat dan pemerintah hanya dapat berperan efektif jika mereka memahami dinamika risiko. Kajian reka kejadian memberi ruang bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengetahui perkembangan kondisi lingkungan di sekitar mereka. Ketika hasil kajian disampaikan secara terbuka, pemerintah dan masyarakat dapat menentukan strategi adaptasi: memperkuat bangunan, menjaga daerah resapan, melarang pembukaan lahan baru yang berisiko, atau berpartisipasi dalam sistem peringatan dini.
Selain itu, masyarakat mampu memberikan informasi lapangan yang sering kali tidak terekam oleh instrumen ilmiah: perubahan suara aliran sungai, hilangnya mata air, retakan tanah yang muncul secara misterius, atau perubahan warna air. Informasi lokal seperti ini penting untuk melengkapi reka kejadian yang dilakukan oleh para ahli. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi korban, tetapi mitra aktif dalam membangun ketangguhan daerah.
Urgensi Kajian Reka Kejadian untuk Masa Depan
Bencana air bah di Kampung Kayu Pasak bukan tragedi tunggal; ia adalah babak awal dari perubahan alam yang sedang berlangsung. Kita harus memahami bahwa bencana serupa tidak akan berhenti hanya dengan memperbaiki jembatan, membersihkan lumpur, atau membangun ulang rumah. Yang dibutuhkan adalah pemahaman yang mendalam mengenai akar penyebabnya. Tanpa kajian reka kejadian, kita hanya memulihkan kerusakan di permukaan, bukan memperbaiki sistem yang rusak di kedalaman.
Reka kejadian memungkinkan pemerintah membuat kebijakan yang tidak hanya merespon bencana, tetapi mencegahnya. Ia membuka ruang bagi rekonstruksi tata ruang, rehabilitasi kawasan hulu, dan penataan ulang pemukiman yang sesuai dengan daya dukung alam. Reka kejadian juga mengajarkan bahwa bencana bukan sekadar persoalan alam, tetapi gabungan antara dinamika alam dan tindakan manusia yang mengubah lanskap secara drastis.
Menyelamatkan Generasi yang Akan Datang
Bencana air bah yang melanda Kampung Kayu Pasak adalah peringatan keras bahwa alam sedang memanggil kita untuk berubah. Reka kejadian menjadi bahasa ilmiah untuk memahami panggilan itu. Ia adalah jembatan antara tragedi hari ini dan upaya penyelamatan masa depan. Setiap daerah yang mengalami banjir bandang harus segera melakukan kajian ini sebagai langkah strategis dan moral untuk melindungi generasi berikutnya.
Dengan melakukan kajian reka kejadian secara komprehensif, kita sedang menuliskan peta baru relasi manusia dengan alam. Peta yang memungkinkan kita hidup berdampingan, bukan saling merusak. Sebab, bencana tidak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga memisahkan manusia dari ruang hidup yang selama ini menjadi identitas mereka. Dan hanya dengan ilmu pengetahuan, kita bisa memastikan bahwa kehilangan sebesar itu tidak terjadi lagi.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)

3 hours ago
5















































