Bencana banjir bandang di daerah menghadirkan paradoks kemanusiaan yang serius dan menuntut respons kebijakan yang proporsional. Di satu sisi, solidaritas warga sesama warga bergerak cepat, spontan, dan tulus melalui donasi publik. Di sisi lain, kebutuhan korban secara empiris jauh melampaui kapasitas solidaritas horizontal tersebut. Ketika muncul wacana membuka bantuan dari luar negeri, publik justru berhadapan dengan fakta administratif: belum ada izin resmi dari pemerintah pusat. Kondisi ini perlu dibaca secara kritis, bukan untuk menghakimi motif, tetapi untuk menilai secara logis apakah kerangka kebijakan, logika negara, dan praktik tata kelola kebencanaan telah sejalan dengan prinsip perlindungan warga negara dalam situasi darurat.
Teori Kedaulatan Negara dan Sensitivitas Bantuan Asing
Pertimbangan kedaulatan negara tentu dijadikan sebagai landasan normatif dalam pembahasan bantuan asing. Dalam perspektif ini, bantuan internasional dipahami bukan semata sebagai tindakan kemanusiaan, tetapi juga sebagai kehadiran aktor eksternal yang membawa simbol, kepentingan, dan konsekuensi politik tertentu. Pemerintah pusat, dengan demikian, memilih posisi kehati-hatian agar kendali penanganan bencana tetap berada di tangan negara.
Namun, dalam kajian kebijakan publik dan keamanan manusia, kedaulatan modern tidak lagi diukur semata dari kemampuan menolak bantuan, melainkan dari kapasitas negara melindungi warganya secara efektif. Ketika prinsip kedaulatan justru membatasi akses korban terhadap sumber daya penyelamatan dan pemulihan, maka kedaulatan tersebut layak dipertanyakan relevansinya. Dalam konteks ini, kehati-hatian negara berisiko bergeser dari perlindungan martabat nasional menjadi pembatasan potensi bantuan untuk korban.
Teori Prosedur Administratif dan Kerangka Regulasi
Pendekatan administratif melihat ketiadaan izin sebagai akibat dari prosedur birokrasi yang kompleks dan lintas sektor. Bantuan asing memang harus melalui mekanisme regulasi yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Akan tetapi, birokrasi dalam kondisi darurat seharusnya bersifat adaptif dan responsif, bukan rigid.
Dalam konteks kebencanaan, ketika prosedur legal-formal justru memperlambat respons kemanusiaan, maka yang perlu dievaluasi bukan niat baik regulasi, melainkan kesesuaiannya dengan prinsip emergency governance . Keterlambatan izin bantuan asing menunjukkan adanya kesenjangan antara desain regulasi dan realitas krisis, di mana negara mungkin tampak lebih siap mengelola dokumen dibanding mengelola urgensi kemanusiaan.
Teori Status Bencana Nasional sebagai Titik Kunci
Keterkaitan antara izin bantuan asing dan penetapan status bencana nasional menjadi titik krusial dalam analisis kebijakan. Secara normatif, penetapan status bencana nasional memang menjadi dasar hukum bagi keterlibatan internasional. Namun, pendekatan ini menyisakan persoalan ketika status administratif dijadikan prasyarat utama, sementara dampak faktual bencana telah melampaui kapasitas daerah.
Jika penetapan status nasional tertunda karena pertimbangan non-teknis, maka kebijakan tersebut berpotensi mengabaikan prinsip evidence-based policy . Dalam kerangka ini, negara dinilai terlalu bergantung pada klasifikasi formal, alih-alih pada indikator empiris penderitaan, kerusakan, dan kebutuhan korban. Akibatnya, izin bantuan asing tertahan bukan karena bencana belum parah, tetapi karena statusnya belum diakui secara administratif.
Teori Kalkulasi Anggaran dan Beban Fiskal Negara
Pertimbangan fiskal merupakan aspek penting dalam kebijakan bencana. Penetapan bencana nasional memang membawa konsekuensi anggaran yang besar, mulai dari realokasi APBN hingga pembiayaan rehabilitasi jangka panjang. Namun, fungsi anggaran negara dalam situasi krisis justru harus bersifat protektif untuk kondisi darurat.
Menunda penetapan status dan izin bantuan asing demi menjaga stabilitas fiskal berisiko menempatkan logika anggaran di atas logika perlindungan warga. Secara logis, pendekatan ini problematik karena menggeser beban krisis ke masyarakat dan pemerintah daerah yang kapasitas fiskalnya jauh lebih terbatas. Dalam konteks negara kesejahteraan, kehati-hatian fiskal seharusnya tidak berujung pada penundaan bantuan kemanusiaan.
Teori Manajemen Persepsi dan Stabilitas Nasional
Dari perspektif manajemen persepsi, pembukaan bantuan asing sering dianggap berpotensi menciptakan citra krisis yang lebih luas. Negara kemudian berupaya mengendalikan narasi agar stabilitas sosial dan ekonomi tetap terjaga. Namun, teori komunikasi krisis menegaskan bahwa transparansi dan respons cepat justru meningkatkan kepercayaan publik.
Ketika izin bantuan asing belum juga ada demi menjaga citra kapasitas negara, kebijakan tersebut berisiko kontraproduktif. Publik tidak hanya menilai dari narasi resmi, tetapi juga dari pengalaman nyata korban di lapangan. Dalam jangka panjang, pengelolaan persepsi yang mengabaikan realitas justru dapat melemahkan legitimasi negara itu sendiri.
Teori Koordinasi Pusat–Daerah dan Beban Tata Kelola
Persoalan koordinasi pusat–daerah memang menjadi tantangan nyata dalam penanganan bantuan asing. Namun, secara institusional, kelemahan koordinasi seharusnya menjadi alasan untuk memperbaiki kapasitas negara, bukan untuk menunda bantuan. Dalam tata kelola multilevel, negara pusat memiliki peran strategis sebagai fasilitator.
Menunda izin dengan alasan kesiapan tata kelola justru mengindikasikan kegagalan antisipasi kelembagaan. Negara seolah mengakui bahwa sistemnya belum siap menghadapi krisis berskala besar, tetapi alih-alih membuka ruang kolaborasi internasional, negara mendiamkan akses donasi tersebut.
Teori Solidaritas Warga sebagai Penyangga dengan semangat Gotong Royong
Solidaritas warga yang kuat sering dibaca sebagai modal sosial yang patut diapresiasi. Dalam analisis sosial, solidaritas horizontal merupakan komplementer dari tanggung jawab negara dalam prinsip gotong royong. Negara membaca solidaritas publik sebagai kepedulian bukan persaingan, negara muncul sebagai penyangga utama dan rakyat dengan gotong royong nya sebagai pendukung dan pelengkap dalam kepedulian.
Dalam kerangka negara modern, solidaritas warga seharusnya melengkapi, bukan menggantikan, kehadiran negara. Donasi publik berada dalam kerangka negara hadir dalam intervensi struktural yang sebagai mandat pemerintah pusat.
Teori Pertimbangan Jangka Panjang dan Preseden Kebijakan
Pertimbangan preseden kebijakan sering dijadikan alasan untuk bersikap sangat hati-hati. Namun, dalam teori keberpihakan, preseden yang baik justru lahir dari keputusan yang berpihak pada korban dan berbasis kebutuhan nyata. Kekhawatiran bahwa bantuan asing akan menjadi “kebiasaan” perlu ditimbang dengan fakta bahwa bencana juga semakin kompleks akibat perubahan iklim dan degradasi lingkungan.
Menahan izin demi menghindari preseden dapat menciptakan preseden baru yang lebih bermasalah: bahwa negara lambat dan ragu dalam situasi darurat. Preseden semacam ini berpotensi merugikan negara sendiri di masa depan.
Ruang Tafsir di Tengah Duka
Seluruh uraian ini berada dalam ranah analisis logis dan kritik kebijakan, bukan tuduhan personal. Namun, dalam situasi bencana, netralitas berlebihan justru dapat menjauhkan kebijakan dari penderitaan nyata korban. Negara dihadapkan pada pilihan fundamental: mempertahankan kenyamanan prosedural atau mengutamakan prinsip kemanusiaan.
Kritik logis ini dimaksudkan untuk membuka ruang refleksi bahwa izin bantuan asing bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan bagaimana negara memaknai tanggung jawabnya terhadap warga yang paling rentan. Dalam konteks tersebut, berpihak pada kemanusiaan bukanlah pelemahan kedaulatan, melainkan penguat legitimasi negara itu sendiri.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)

11 hours ago
8















































