Keliru Pikir Kekayaan BUMN Bukan Kekayaan Negara

5 days ago 14

Salah satu isu penting yang tertulis tegas di dalam UU No. 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah tentang kekayaan BUMN tidak lagi dirumuskan sebagai kekayaan negara, tapi sudah menjadi kekayaan BUMN itu sendiri.

Ini sebenarnya bukan isu baru. Dulu, sekitar 12 tahun yang lalu sudah pernah diperdebatkan di ruang publik. Bahkan perdebatannya berujung di meja hijau Mahkamah Konstitusi (MK) yang tercatat dalam perkara Pengujian Undang Undang No. 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013.

Ketika itu, Penulis diminta dan/atau dihadirkan oleh Pemerintah (melalui Kementerian Keuangan) sebagai ahli di MK untuk menjelaskan makna konstitusional dari frasa "kekayaan Badan Usaha Milik Negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan" yang tertera di dalam Undang-Undang Keuangan Negara dan beberapa undang-undang lainnya.

Untuk memberikan pemahaman kepada publik terkait isu penting ini, Penulis berinisiatif mengirimkan lagi pendapat hukum yang dibacakan di depan hakim MK secara utuh dengan sedikit perubahan teknis, yang tidak mengubah substansinya.

Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang Mulia,

Saya diminta memberikan pandangan hukum terhadap perkara pengujian undang-undang (PUU) yang terdaftar dibawah register No.48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU- XI/2013 yang dimohonkan oleh Pusat Pengkajian Masalah Strategis Universitas Indonesia, Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara, Omay Komar Wiraatmadja, dan Sutrisno.

Terlebih dahulu izinkan saya memperkenalkan diri. Saya adalah pengajar hukum bisnis–diantaranya matakuliah tata kelola perusahaan (corporate governance, CG), pada Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta, Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas dan Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi H AgusSalim.

Di samping sebagai pengajar, saya juga adalah seorang advokat serta aktif (sebagai direktur eksekutif) pada Institut untuk Reformasi Badan Usaha Milik Negara (iReformbumn), sebuah lembaga kajian yang bermaksud mendorong tata kelola BUMN yang lebih baik yang saya dirikan bersama teman-teman. Disertasi doktoral saya di Macquarie University (Australia) membahas tentang tata kelola BUMN.

Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang Mulia,

Seperti yang terbaca di dalam beberapa dokumen perkara, yang dipermasalahkan oleh para Pemohon perkara No. 48/PUU-XI/2013 adalah keberadaan pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sedangkan para Pemohon perkara 62/PUU-XI/2013 mempermasalahkan Pasal 2 huruf g dan i UU No. 17 Tahun 2003 dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Pendapat hukum ini membahas tentang rahasia hukum dibalik keberadaan aturan yang memasukkan kekayaan BUMN/BUMD sebagai bagian dari keuangan negara dan keterlibatan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK)dalam tata kelola keuangan BUMN/BUMD dari sudut corporate governance (CG) dan hubungannya dengan doktrin business judgement rule.

Sistimatika pendapat hukum ini adalah: (1) Teori keagenan (agency theory) sebagai akar teori CG; (2) Pemerintah sebagai acting principal; (3) Meneguhkan konsep perseroan(two-tier board) di BUMN; (4)
Merintangi 'krumuk-tumuk' (moral hazard); dan (5) Doktrin business judgement rule.

Teori keagenan (agency theory) sebagai akar teori CG

Sebagai sebuah sistem yang dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengontrol perusahaan, CG – yang secara formal mulai mendapat tempat dalam dunia hukum perusahaan Indonesia pada tahun 1999 yang ditandai dengan dibentuknya Komite Nasional tentang Corporate Governance lahir sebagai kelanjutan dari teori keagenan (agency theory). Dengan kata lain, agency theory adalah postulat yang melatari kelahiran CG.

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa agency theory eksis untuk meminimalkan terjadinya penyimpangan investasi/uang/property milik para pemilik (principal) perusahaan dari perilaku tidak baik para pengelola perusahaan, yaitu para pengelola perusahaan yang mendahulukan kepentingan pribadi mereka (self- interest) ketimbang kepentingan principal.

Penyimpangan itu terjadi karena dalam perusahaan-perusahaan modern, para principal (kadang disebut juga sebagai pemegang saham) tidak langsung mengelola perusahaan mereka, tetapi menyerahkannya kepada orang lain (agent), yang mashur dengan sebutan separation of ownership and control.

Pergumulan pemikiran tentang agency theory ini dapat dilacak dalam beberapa tulisan ilmiah yang ditulis oleh, diantaranya, Adolf Berle and Gardiner Means, Michael C. Jensen and William H. Meckling, Eugene F. Fama and Michael C. Jensen, serta Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer and Robert W. Visny.

Seperti yang dirangkum oleh Muhammad Zubair Abbasi, akibat dari ketidakseimbangan relasi antara principal dan agent adalah lahirnya beragam masalah (agency problems atau disebut juga dengan principal-agent problems) di perusahaan, diantaranya konflik kepentingan (conflict of interest) antara principal dan agent, pembagian resiko yang muncul disebabkan oleh perbedaan prioritas antara principal dan agent, masalah moral hazard yang muncul karena sikap agent yang cenderung mementingkan diri sendiri dan menghindari pekerjaan (work- shirking), dan ketimpangan informasi (information asymmetry) antara principal dan agent.

Keseluruhan agency problems di atas, dalam praktik, memunculkan biaya-biaya (agency costs) yang secara tidak adil menjadi tanggungan principal. Agency costs merusak agenda utama para pendiri perusahaan, yaitu memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada para pemegang sahamnya (shareholders wealth maximization), disamping mempersembahkan manfaat kepada pihak-pihak yang berkepentingan lainnya seumpama masyarakat tempatan di mana perusahaan berdiri, pekerja, suplier, dan lain-lain sebagainya.

Pada bagian ini, dapat dirangkum bahwa keberadaan agency theory yang dataran praktik bermetamerposa menjadi CG yang sekarang amat populer di Indonesia, dimaksudkan untuk memitigasi agency problem dan mengurangi agency costs demi menyelamatkan investasi yang ditanamkan pemegang saham atau principal dari perilaku tidak baik para pengelola perusahaan yang seringkali mendahulukan kepentingan pribadi mereka dalam mengelola perusahaan.

Konsep shareholders wealth maximization dalam pengelolaan perusahaan dengan CG merupakan pagar pengaman bagi para principal yang tidak hanya ditemukan di dalam literatur-literatur asing, tapi juga pernah tergambar dalam definisi CG yang pernah dirumuskan Kementerian BUMN:
"Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika".

Pemerintah sebagai acting principal

Dari uraian di atas sudah terang bahwa prinsipnya CG hadir untuk memastikan agar hak-hak principal tidak dibelokkan secara tidak patut oleh para agents perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri. Prinsip shareholders wealth maximization yang hendak diamankan oleh CG tidak membedakan antara badan hukum milik swasta (BUMS) dan BUMN.

Yang sedikit mengganggu dan sering menyesatkan adalah menentukan siapa yang terkategori sebagai principal BUMN/BUMD (selanjutnya disebut BUMN)?

Banyak orang menyamakan struktur kepemilikan BUMN dengan BUMS. Ketika para pemegang saham yang nama-namanya tertera di dalam daftar pemegang saham disebut sebagai principal BUMS, Pemerintah dianggap pula sebagai principal BUMN.

Anggapan ini bisa jadi berangkat dari kenyataan kekuasaan besar Pemerintah melalui forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di BUMN. Sebagaimana halnya kekuasaan para pemegang saham BUMS melalui RUPS, Pemerintah juga berkuasa penuh (juga melalui RUPS) menetapkan kebijakan-kebijakan strategis di BUMN semisal mengangkat dan memberhentikan dewan komisaris dan direksi, menyetujui laporan tahunan, dan kebijakan-kebijakan penting lainnya.

Perihal kepemilikan BUMN digambarkan dengan sangat baik oleh Choon Yin Sam sebagaimana yang dikutip oleh Sajid Anwardan Choon Yin Sam ketika mereka menjelaskan governance structure Temasek Holdings Limited (BUMN Singapura) yang membagi governance structure BUMN menjadi dua lapis.

Pada lapis pertama, yang disebut sebagai principal BUMN adalah publik (general public) dengan Pemerintah sebagai agent. Sementara pada lapis kedua, Pemerintah bertindak sebagai principal dan para manejer yang menjalankan langsung BUMN disebut sebagai agent.

Konsep dua lapis governance structure tersebut bersesuaian dengan amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mengusai cabang-cabang produksi penting. Implementasi dari kewenangan negara menguasai cabang-cabang produksi penting itu adalah turun tangannya negara mendirikan BUMN dengan modal yang berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. Hal itu berbeda dengan modal BUMS yang berasal dari uang atau properti milik pribadi yang terbagi ke dalam lembaran- lembaran saham.

Berangkat dari sumber modal yang berbeda, posisi para pemegang saham BUMS di RUPS tidak setara dengan posisi Pemerintah di BUMN. Kehadiran Pemerintah di BUMN hanyalah sebagai acting principal (pemilik wakil), mewakili masyarakat umum sebagai pemilik BUMN yang sebenarnya (ultimate principal).

Dalam praktik, konsekuensi dari berbedanya sumber modal BUMS dan BUMN adalah tidak samanya kapasitas hukum masing-masing. Perbedaan kapasitas tersebut, salah satunya, dapat dilihat dalam praktek pertanggungjawaban pengelolaan keuangan perusahaan.

Di BUMS, puncak tertinggi pertanggungjawaban keuangan adalah RUPS. Karena itu, laporan keuangan yang disampaikan direksi dalam forum RUPS akan benar-benar tuntas manakala RUPS menerima laporan pertanggungjawaban dimaksud, meskipun laporan tersebut bermasalah dari sudut teori dan praktek tata kelola keuangan perusahaan.

Contoh sederhana begini, setahun mengelola BUMS direksi menghabiskan dana operasional perusahaan sebesar Rp. 3 Milyar. Rp. 2 Milyar dari total pengeluaran itu dilengkapi dengan bukti-bukti sesuai dengan standar akuntansi keuangan, akan tetapi tidak ada bukti pengeluaran untuk sisanya (Rp.1 Milyar). Ketidakmampuan direksi mempertanggungjawabkan Rp. 1 Milyar tidak akan menimbulkan masalah hukum sepanjang RUPS telah mengesahkan laporan pertanggungjawaban direksi itu.

Meneguhkan konsep perseroan (two-tier board) di BUMN

Beberapa ahli yang dihadirkan oleh para Pemohon berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan sebagai modal pembentukan BUMN serta merta menjelma menjadi kekayaan BUMN sebagai entitas hukum tersendiri, atau tidak lagi menjadi uang negara.

Dari sisi hukum perusahaan, pandangan ini amat keliru. Sebagaimana kita pahami bersama, hukum perusahaan Indonesia menganut model two-tier board yang membagi organ perusahaan menjadi tiga, yakni RUPS (organ tertinggi yang memiliki hak yang tidak dimiliki oleh dua organ lainnya), dewan komisaris (organ perseroan yang menjalankan fungsi pengawasan dan pemberi masukan) dan direksi (organ perseroan yang menjalankan kegiatan harian perseroan).

Dan, sentana kita ikuti kerangka berpikir para ahli Pemohon (Pemerintah sebagai acting principal tidak lagi berperan di BUMN) maka, secara hukum, BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) tidak layak disebut sebagai PT karena kekurangan organ.

Merintangi 'krumuk-tumuk' (moral hazard)

Implikasi hukum dari posisi Pemerintah di BUMN yang hanya sekadar acting principal adalah RUPS yang diwakili Pemerintah bukanlah puncak tertinggi pengambilan keputusan di BUMN, terutama dalam hal pertanggungjawaban keuangan.

Masih meneruskan contoh di atas, berbeda dengan BUMS, laporan penggunaan uang perusahaan senilai Rp.1 Milyar yang tanpa bukti pengeluaran tidak bisa serta merta diselesaikan atau dianggap selesai di forum RUPS, meskipun secara formal RUPS telah mengetok palu persetujuan.

Secara praktis, tidak memberikan kewenangan kepada RUPS BUMN untuk mengesahkan laporan keuangan yang tidak beres sangat besar artinya untuk merintangi terjadinya kemungkinan 'krumuk-tumuk' (moral hazard) di lingkungan organ perseroan yang melibatkan Pemerintah/RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi.

Misalnya, laporan keuangan yang tidak layak itu disahkan RUPS padahal uangnya bukan dipergunakan untuk kepentingan perseroan tapi dinikmati secara bersama- sama secara melawan hukum oleh Pemerintah/RUPS, dewan komisaris dan direksi.

Kita mesti berterima kasih kepada pembuat UU Keuangan negara dan BPK (Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat) yang dengan sangat bijaksana merumuskan Pasal 2 huruf g dan i UU No. 17/2003 yang mendefinisikan kekayaan BUMN sebagai bagian dari keuangan negara dan memberikan ruang kepada BPK untuk memeriksa keuangan BUMN melalui Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat(1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UUNo.15/2006.

Dengan pasal-pasal ini, pihak-pihak yang bermaksud melakukan praktik 'krumuk- tumuk' di BUMN tidak akan bisa melakukan aksi mereka dengan bebas.

Kehadiran Pasal 2 huruf g dan i UUNo.17/2003 dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UUNo. 15/2006 tidak hanya sekadar merintangi 'krumuk-tumuk' di 141 BUMN saja yang beraset Rp. 2.950 triliun saja, tapi akan menyelematkan 1.113 BUMD dengan total aset sekitar Rp. 343.118 triliun. Potensi 'krumuk-tumuk' justeru sangat besar peluang terjadinya di BUMD yang pengawasannya jauh lebih lemah dibandingkan dengan BUMN.

Doktrin Business Judgement Rule

Doktrin business judgement rule (BJR) secara tegas diadopsi di dalam hukum perusahaan kita sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 97 ayat (5) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas: "Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagamana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: (1) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; (2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; (3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
(4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Apakah Pasal 2 huruf g dan i UU No. 17/2003 dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU No.15/2006
membuat doktrin BJR tidak berlaku? Tidak. Pasal-pasal itu tidak bisa menjerat para direksi lurus yang secara hukum diproteksi oleh doktrin BJR melalui Pasal 97 ayat
(5).

Seperti yang saya katakan pada bagian atas, pasal-pasal itu ada untuk merintangi praktik 'krumuk-tumuk' di lingkungan BUMN, bukan untuk menakut-nakuti apalagi untuk menghukum para direksi lurus.

Penulis: Miko Kamal, Advokat dan Wakil Rektor III UISB

Read Entire Article
Anggam Lokal| Radarsukabumi| | |