RADAR SUKABUMI – Pertanian telah menjadi fondasi utama kehidupan manusia selama berabad-abad. Namun, dalam menghadapi tantangan abad ke-21, kita tidak bisa lagi melihat pertanian hanya sebagai aktivitas produksi, melainkan sebagai sistem yang harus berkelanjutan secara ekologis, ekonomis, dan sosial.
Di tengah isu krisis iklim, menurunnya kualitas lahan, serta meningkatnya tekanan terhadap sumber daya alam, gagasan tentang pertanian tanpa limbah menjadi semakin relevan. Konsep ini bukan hanya sebuah visi ideal, tetapi kebutuhan yang mendesak untuk mewujudkan masa depan yang lestari.
Di balik semangat efisiensi dan peningkatan hasil panen, praktik pertanian modern sering kali menyisakan banyak limbah yang belum terkelola. Secara global, FAO (2021) mencatat bahwa sekitar 1,3 miliar ton pangan terbuang setiap tahunnya, setara dengan sepertiga dari seluruh hasil produksi pertanian dunia. Di Indonesia, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023) menunjukkan limbah pertanian menyumbang lebih dari 11% dari total limbah nasional. Limbah ini meliputi sisa panen seperti jerami, daun, batang, kulit buah, serta limbah dari aktivitas peternakan dan perikanan seperti kotoran hewan, sisa pakan, hingga air limbah dari kolam.
Limbah yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Pembakaran jerami misalnya, melepaskan partikel polutan dan gas rumah kaca seperti metana dan CO₂. Pembuangan limbah organik ke perairan menyebabkan eutrofikasi, mengurangi kadar oksigen, dan mengancam kehidupan akuatik. Di sisi lain, ini adalah bentuk pemborosan sumber daya yang seharusnya bisa dimanfaatkan kembali sebagai pupuk, energi, atau bahan baku lainnya. Oleh karena itu, memandang limbah sebagai sumber daya yang dapat dikembalikan ke sistem pertanian menjadi fondasi utama dari pendekatan pertanian tanpa limbah.
Di berbagai belahan dunia, praktik pengolahan limbah pertanian menjadi semakin berkembang. Di Belanda, misalnya, sistem pertanian vertikal dan rumah kaca modern dirancang untuk mendaur ulang air dan nutrien secara penuh, sehingga menghasilkan residu minimal. Di India, program “Zero Budget Natural Farming” mengintegrasikan kotoran sapi dan kompos sebagai input utama untuk mengurangi ketergantungan pada input eksternal dan meminimalisir limbah. Di Indonesia sendiri, inovasi-inovasi mulai bermunculan dari kalangan petani muda, pesantren, hingga startup agrikultur.
Salah satu inovasi yang terus berkembang adalah penggunaan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk mengolah limbah organik. Larva ini sangat efisien dalam mengonsumsi sisa makanan, limbah pasar, dan sisa panen. Dalam waktu 10-14 hari, BSF dapat mengurangi volume limbah hingga 70% sekaligus menghasilkan pakan ternak berkualitas tinggi. Startup seperti Magalarva dan Gringgo telah menerapkan teknologi ini tidak hanya di wilayah pertanian, tetapi juga di lingkungan urban sebagai bagian dari manajemen sampah kota. Dengan biaya produksi yang relatif rendah dan dampak lingkungan yang minimal, teknologi ini menunjukkan bahwa pendekatan sirkular bisa menjadi sangat praktis dan menguntungkan.
Kompos adalah contoh klasik namun tetap relevan dalam pertanian tanpa limbah. Di beberapa desa di Kulon Progo dan Sleman, DIY, para petani telah terbiasa mengubah limbah pertanian menjadi kompos untuk menggantikan pupuk kimia. Kompos tidak hanya menyuburkan tanah, tetapi juga meningkatkan kapasitas tanah dalam menyimpan air, mengurangi risiko erosi, dan memperbaiki struktur tanah secara jangka panjang. Program-program seperti Bank Kompos dan Unit Daur Ulang Kompos (UDK) yang digerakkan oleh komunitas lokal, menunjukkan bahwa pendekatan berbasis masyarakat bisa sangat efektif dalam pengelolaan limbah.
Limbah ternak pun tidak kalah potensial. Dengan teknologi biodigester, kotoran sapi atau kambing bisa diubah menjadi biogas yang dapat digunakan untuk memasak atau menggerakkan generator listrik. Residunya pun masih dapat digunakan sebagai pupuk cair. Program biogas berbasis rumah tangga yang dikembangkan oleh Hivos dan Yayasan Rumah Energi telah menjangkau ribuan peternak kecil di Jawa dan Bali. Selain mengurangi limbah, program ini juga membantu keluarga petani menghemat pengeluaran untuk LPG dan pupuk.
Dalam konteks pertanian terpadu, limbah dari satu subsektor digunakan sebagai input untuk subsektor lainnya. Sebuah contoh menarik datang dari Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Bandung Selatan yang menerapkan sistem integrasi antara pertanian, peternakan, dan perikanan. Sisa hasil sayuran digunakan untuk pakan ikan dan kambing, sementara kotoran hewan diolah menjadi kompos dan pupuk cair. Hasil panennya pun dipasarkan langsung ke konsumen kota melalui jaringan koperasi santri, menunjukkan bahwa integrasi hulu-hilir dapat menciptakan ekonomi sirkular yang menguntungkan.
Namun, untuk mewujudkan pertanian tanpa limbah secara luas, tantangan besar masih mengadang. Edukasi petani tentang pentingnya pengelolaan limbah belum merata. Banyak petani yang masih membakar jerami atau membuang limbah ke saluran air karena dianggap lebih praktis dan murah. Akses terhadap teknologi seperti biodigester atau BSF juga belum tersedia secara merata di pedesaan, terutama di daerah terpencil. Pemerintah perlu memperluas pelatihan dan pendampingan teknis yang bersifat partisipatif, agar petani tidak hanya menjadi objek program, tetapi juga agen perubahan.
Selain itu, diperlukan regulasi yang mendukung penerapan sistem pertanian sirkular. Saat ini, regulasi mengenai limbah pertanian masih bersifat sektoral dan kurang koordinasi antara kementerian. Perlu kebijakan lintas sektor yang menyatukan aspek pertanian, lingkungan, energi, dan ekonomi sirkular. Pemerintah daerah juga harus diberikan kewenangan dan sumber daya yang cukup untuk mengembangkan infrastruktur pengolahan limbah lokal, seperti pusat kompos desa atau unit biogas komunal.
Di sisi lain, dunia riset dan perguruan tinggi juga punya peran penting. Banyak inovasi yang lahir dari kampus, tetapi berhenti di tahap prototipe karena tidak terhubung dengan dunia nyata petani. Perlu ada jembatan penghubung antara akademisi, dunia usaha, dan petani, seperti inkubator agrikultur yang memfasilitasi pengujian dan adopsi teknologi secara langsung di lapangan. Insentif riset terapan, kerjasama lintas disiplin, dan keterlibatan mahasiswa dalam program pemberdayaan bisa menjadi bagian dari solusi.
Sektor swasta pun harus didorong untuk berperan lebih aktif. Selama ini, investasi swasta dalam pengelolaan limbah pertanian masih minim karena dianggap kurang menguntungkan. Padahal, pasar produk pertanian berkelanjutan terus berkembang. Permintaan konsumen terhadap produk organik, minim kemasan plastik, dan bersertifikat ramah lingkungan menunjukkan bahwa ada peluang ekonomi yang besar dalam pertanian tanpa limbah. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal seperti potongan pajak, subsidi, atau kemudahan izin usaha bagi startup dan UMKM yang bergerak di sektor ini.
Kesadaran masyarakat sebagai konsumen juga menjadi kunci penting. Ketika konsumen mulai bertanya “dari mana asal produk ini?”, “bagaimana proses produksinya?”, dan “apakah limbahnya dikelola?”, maka tekanan terhadap produsen untuk menerapkan praktik berkelanjutan akan meningkat. Edukasi publik melalui sekolah, media sosial, dan kampanye gaya hidup berkelanjutan sangat penting untuk memperkuat ekosistem pertanian tanpa limbah dari sisi permintaan.
Pertanian tanpa limbah bukan berarti nihil limbah secara mutlak, tetapi mengubah paradigma dari linier menjadi sirkular, dari membuang menjadi memanfaatkan kembali, dari limbah sebagai masalah menjadi limbah sebagai solusi. Konsep ini bukan hanya untuk petani atau pakar lingkungan, tetapi untuk semua pihak yang terlibat dalam rantai pangan, dari pengambil kebijakan, pelaku bisnis, peneliti, pendidik, hingga konsumen. Dengan semangat kolaborasi, inovasi, dan keberlanjutan, masa depan pertanian tanpa limbah bukanlah utopia, melainkan realitas yang bisa kita bangun bersama.
Penulis : Cantika Sri Rahayu
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta