Oleh: Ladifa Putri Marisa
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan seksual semakin meningkat. Yang menjadi perhatian yaitu pelaku merupakan mereka yang memiliki jabatan, berseragam, memiliki kehormatan, mulai dari lingkup akademik, kesehatan bahkan aparat yang bertugas melindungi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat negara semakin meningkat. Kekerasan ini bukan hanya sekedar pelanggaran individu, tetapi cerminan dari rusaknya sistem yang seharusnya menjaga dan melindungi masyarakat.
Tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman justru menyimpan potensi ancaman. Di ruang publik, sekolah, rumah sakit, kampus, tempat yang seharusnya melindungi justru menjadi lokasi maraknya terjadi pelecehan seksual. Tak ada lagi ruang aman bagi perempuan, mereka yang seharusnya melindungi justru menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Setiap kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat semakin menambah retak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Contoh kasus yang baru saja terungkap akhir-akhir ini ialah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada. Ia terbukti telah melakukan pelecehan terhadap 3 anak dibawah umur, merekam, menyimpan dan menyebarkan aksi bejatnya itu.
Ia kemudian mengunggah video hasil perbuatannya itu ke situs Australia yang kemudian ditemukan dan dilaporkan oleh kepolisian federal Australia ke pihak Indonesia. Berdasarkan tes urin yang telah dilakukan, ia juga terbukti positif narkoba. Ini tentu sangat mencemari institusi negara yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi masyarakat.
Kemudian, di dunia pendidikan pun tak luput dari noda serupa, yang terbaru kasusnya ialah kasus kekerasan seksual yang melibatkan guru besar Fakultas Farmasi di UGM kepada belasan mahasiswanya. Tindakan tersebut terjadi di berbagai lokasi, termasuk kampus, rumah pribadi pelaku serta beberapa tempat penelitian.
Lalu, di sektor pendidikan terdapat juga kasus yang ramai dibicarakan orang saat ini yang telah mencoreng dunia kedokteran dan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis, yakni kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter residen PPDS di RSHS Bandung.
Pelaku diduga membius korban yang merupakan keluarga pasien, pelaku membujuk korban dengan dalih percepatan prosedur crossmatch darah, korban kemudian dibawa ke lantai 7 gedung baru RSHS yang disebut masih kosong, di sanalah ia melakukan perbuatan bejatnya kepada korban.
Sungguh ironi seseorang yang seharusnya menyelamatkan nyawa, justru menjadi ancaman bagi kemanusiaan. Di balik jas putih yang seharusnya melambangkan kepedulian, tersembunyi pengkhianatan profesionalisme dan nilai-nilai kemanusiaan.
Lengkap sudah daftar institusi yang telah kehilangan rasa aman sekolah, rumah sakit, hingga kantor aparat tak luput dari luka yang sama. Penciptaan ruang aman bagi masyarakat terutama perempuan telah hilang, karena ketika institusi yang seharusnya menjadi benteng perlindungan malah menjadi sumber kekerasan seksual yang terus berkembang.
Mereka yang seharusnya mendidik dan mengayomi malah menyakiti, bukan melindungi. Dari sejumlah kasus tersebut, mencerminkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya disebabkan oleh hasrat individu, tetapi juga oleh struktur sosial yang memberikan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Faktor yang paling mencolok dari kasus-kasus tersebut adalah posisi mereka yang dekat dengan kekuasaan serta keyakinan bahwa hukum tak mampu menjangkau mereka.
Dr. Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan sering dimanifestasikan dalam kendali atas tubuh. Aparat yang memiliki posisi strategis seringkali mendapatkan perlindungan oleh institusi, bahkan tak jarang proses hukum dihentikan begitu saja.
Dalam banyak kasus, korban dipaksa bungkam, diintimidasi bahkan dipaksa berdamai. Justru karena berada dalam posisi kuasa, pelaku seharusnya menerima hukuman yang lebih berat sebagai bentuk tanggung jawab dan penyalahgunaan kekuasaan.
Situasi ini mencerminkan ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban, sekaligus memperlihatkan bahwa sistem hukum belum berpihak pada yang lemah.
Menghadapi fenomena ini, dibutuhkan langkah konkret untuk memperbaiki sistem hukum dan menegakkan keadilan. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, transparan dan tanpa pandang bulu. Setiap pelaku kekerasan seksual terutama yang berada dalam posisi kekuasaan harus diadili dengan setimpal.
Mereka yang menyalahgunakan posisi mereka harus menerima hukuman yang lebih berat karena tidak hanya merusak martabat korban, tetapi juga mengkhianati tanggung jawab dan kepercayaan rakyat. Reformasi dalam etika profesi di berbagai institusi juga sangat diperlukan, semua sektor dari aparat penegak hukum hingga institusi pendidikan dan medis, harus menjalankan kode etik profesinya dengan sungguh-sungguh.
Kekuasaan yang tidak diawasi akan menimbulkan rasa impunitas. Tanpa adanya sanksi yang tegas, para pelaku kekerasan seksual yang memiliki kekuasaan akan terus merasa terlindungi, sementara korban semakin terpinggirkan. Reformasi sistem hukum yang lebih berpihak kepada korban sangatlah perlu dilakukan.
Proses hukum yang lebih adil dan tegas akan menciptakan efek jera dan memastikan bahwa tidak ada lagi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, pemberantasan oknum-oknum yang mencoreng nama baik institusi harus menjadi prioritas agar kepercayaan masyarakat dapat pulih.
Inilah saatnya untuk mengubah paradigma hukum yang selama ini lebih berpihak pada mereka yang berkuasa. Tanpa transformasi yang menyeluruh, kekerasan seksual akan terus meningkat dan menjadi luka terbuka dalam tubuh bangsa.
Ini bukan hanya soal etika profesi tapi soal nyawa dan masa depan. Kita harus menuntut perubahan nyata, sebuah sistem hukum yang tidak hanya melindungi tetapi juga melawan ketidakadilan.
Penulis : Ladifa Putri Marisa, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas