Langgam.id – Puncak kegiatan Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang digelar Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat berlangsung di Gedung Engku Syafei, BBPMP Sumatera Barat, Selasa (12/11). Kegiatan yang dikemas dalam Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Tingkat SMP se-Sumatera Barat itu menempatkan Kota Payakumbuh sebagai juara umum setelah meraih lima kemenangan dari lima lomba yang dipertandingkan.
Festival ini merupakan rangkaian panjang program revitalisasi bahasa daerah yang telah dimulai sejak Mei melalui Bimbingan Teknis Guru Utama di 18 kabupaten dan kota. Lima bentuk lomba disiapkan untuk menghidupkan kembali Bahasa Minangkabau di kalangan generasi muda, yakni manulih carito, bacarito, manulih dan mambaco pantun, badendang, serta bapidato.
Setiap kabupaten dan kota mengirim satu wakil untuk tiap cabang lomba. Sepekan sebelumnya, untuk tingkat SD, Kabupaten Pasaman juga menorehkan prestasi dengan empat kemenangan, dua di antaranya meraih posisi utama.
Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat, Rahmat S.Ag., M.Hum, menyebut para peserta festival bukan hanya sekadar mengikuti perlombaan, tetapi memikul peran lebih besar. “Anak-anak yang tampil di FTBI bukan sekadar peserta lomba, tetapi juga duta bahasa ibu bagi masa depan Sumatera Barat. Mereka akan mewakili provinsi ini di ajang FTBI Tingkat Nasional di Jakarta,” ujarnya.
Sebelum lomba dimulai, panitia menggelar wicara publik menghadirkan Rahmat, budayawan Yusrizal KW, dan akademisi Dr. Syamdani. Kegiatan dipandu Ketua Tim Kerja Pemodernan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Fitria Dewi, M.Hum. Dalam sambutannya, Fitria menekankan pentingnya menghargai bahasa daerah sebagai identitas budaya. “Melalui festival ini, kita tidak hanya merayakan bahasa sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol warisan budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” ujarnya.
Sebelum pengumuman pemenang, Dewan Juri diberi kesempatan menyampaikan evaluasi. Dari lima juri, sedikitnya muncul dua catatan penting untuk peningkatan penyelenggaraan festival pada masa mendatang.
Juri badendang, Jawahir, menilai sebagian peserta belum memahami hakikat dendang Minangkabau. Ia menilai ada kecenderungan memperumit bentuk dendang yang seharusnya sederhana. “Ini diterjemahkan dari tembang tradisi. Jadi, yang tidak mengikuti juklak dan juknis tidak bisa kami nilai,” katanya. Untuk memperjelas, ia pun mencontohkan dendang Banda Sapuluah di hadapan peserta. “Mudah, kan?” ujarnya.
Catatan lebih tajam disampaikan juri bacarito, S. Metron Masdison. Ia mengungkapkan adanya peserta yang sejatinya layak menjadi pemenang utama namun didiskualifikasi karena ketidaktelitian pendamping dalam membaca dan memahami petunjuk teknis. “Sayang sekali. Jika anak ini tampil di Jakarta, ia akan mendapat sambutan meriah. Saya jamin,” kata sutradara Ranah PAC tersebut.
Metron juga menyoroti proses seleksi tingkat kabupaten dan kota yang dinilai belum seragam. “Ada daerah yang melakukan seleksi, ada yang menggunakan sistem penunjukan, bahkan ada yang tidak mengirim peserta. Padahal Balai Bahasa datang dengan program untuk memajukan budaya Minangkabau,” ujarnya.
Festival Tunas Bahasa Ibu digadang menjadi wadah regenerasi penutur bahasa ibu yang mampu menjaga keberlanjutan Bahasa Minangkabau di tengah derasnya arus pergeseran bahasa. Melalui kegiatan ini, Balai Bahasa berharap bibit-bibit muda yang tampil dapat menjadi jembatan pelestarian bahasa daerah di masa mendatang.

13 hours ago
8

















































