Langgam.id – Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat menegaskan bahwa perjuangan menuju kedaulatan pangan tidak akan pernah tercapai tanpa kedaulatan petani. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua DPW SPI Sumbar, Rustam Efendi, dalam diskusi publik bertajuk “Mewujudkan Daulat Pangan dari Hulu ke Hilir” di Toko Buku dan Kedai Kopi Pojok Steva, Siteba, Kota Padang, Jumat (17/10/2025).
“Daulat pangan harus dimulai dari daulat petani: daulat atas tanahnya, atas pupuknya, dan atas pascapanennya,” tegas Rustam.
“Kita sering bicara soal pangan nasional, tapi petaninya sendiri belum berdaulat. Di Sumatera Barat, 57 persen masyarakat adalah petani, dan 24 persen pendapatan daerah berasal dari sektor pertanian, tapi keuntungan terbesar justru kembali ke pengusaha.”
Rustam menilai bahwa tanpa kebijakan konkret dari pemerintah provinsi hingga kabupaten untuk membangun sektor hilir pertanian, kedaulatan pangan hanya akan menjadi jargon kosong.
“Kalau tidak ada kebijakan gubernur agar kabupaten mendirikan hilirisasinya, semuanya sama saja, nol koma lima persen. Cuma jadi lip service,” ujarnya.
Ia juga menyinggung paradoks antara nilai-nilai ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.
“Percuma bicara ABS-SBK kalau pertanian kita tidak rahmatan lil ‘alamin. Banyak pupuk kimia yang justru membunuh organisme tanah dan membuat petani bergantung,” kata Rustam.
SPI Sumbar menilai ancaman terhadap kedaulatan pangan di Sumbar bersifat struktural dan sistemik. Salah satunya adalah ketidakjelasan tata ruang wilayah (RTRW) yang sering kali tidak berpihak kepada petani.
“RTRW di Padang saja tidak jelas. Menurut undang-undang, Indonesia ini surganya pertanian, tapi implementasi dan penegakannya lemah,” ujar Rustam.
“Lihat saja di pinggir sungai—seratus meter dari aliran air tidak boleh ditanami, tapi faktanya banyak dibabat habis.”
Rustam menyoroti lemahnya pengelolaan data pertanian yang hanya tersimpan di rak pustaka tanpa pernah dianalisis secara serius.
“Data tinggal di lemari, tidak diolah, tidak diteliti, tidak ada kesimpulan yang bisa dijadikan kebijakan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti dampak mekanisme pasar yang kini mengatur sektor pangan.
“Sekarang semuanya diserahkan ke mekanisme pasar. Petani kehilangan kendali, negara tidak lagi berdaulat dalam urusan pangan,” tambahnya.
Rustam menilai kebijakan terkait perubahan iklim dan tata ruang sering kali hanya menguntungkan korporasi.
“Isu perubahan iklim tidak boleh hanya soal perdagangan karbon. Industri besar tetap jalan kencang, tapi rakyat disuruh menjaga hutan dengan alasan paru-paru dunia. Begitu investor datang, hutan itu justru dibabat,” tegasnya.
SPI Sumbar menilai kebijakan RTRW di tingkat provinsi dan kabupaten perlu dievaluasi tiap tahun, terutama untuk melihat sejauh mana lahan pertanian terlindungi.
“Kota Padang misalnya, banyak lahan pertanian yang sudah beralih fungsi jadi perumahan. Ini ancaman nyata,” katanya.
Rustam juga menyoroti absennya peran negara dalam hilirisasi hasil pertanian.
“Sejak Indonesia merdeka, kondisi petani kita tidak banyak berubah. Di Sumbar, 60 persen masyarakat petani, tapi provinsi tak pernah hadir dalam konteks hilirisasinya,” ucapnya.
“Lucunya, ketika petani rugi, negara diam. Tapi ketika mulai untung, negara datang menagih pajak.”
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Hasnah, menilai alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih belum signifikan. Sebagaimana diketahui, pemerintahan provinsi Sumatra Barat di bawah kepemimpinan Mahyeldi – Vasco Rusemy menjadikan sektor pertanian sebagai program unggulan.
Wujud langkah konkretnya, maka dialokasikan 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbar sebesar Rp. 6,4 triliun untuk pengembangan sektor pertanian. Dana ini akan difokuskan pada peningkatan produksi, pengembangan industri hilir pertanian, serta penyediaan asuransi usaha tani sebagai jaring pengaman bagi para petani.
“Alokasi anggaran memang sekitar 10 persen, tapi hasilnya belum terasa. Harus ada keseimbangan anggaran agar sektor ini benar-benar menjadi tulang punggung ekonomi,” ujarnya.
Ia menyoroti rendahnya pendapatan petani padi.
“Satu hektare sawah empat bulan panen, hasilnya kurang dari empat juta. Padahal ini bahan pangan pokok bangsa,” katanya.
Sementara itu, Silvi Lestari dari Huma Inovasi menekankan pentingnya desentralisasi kebijakan pangan di tingkat desa.
“Kalau 20 persen dana desa benar-benar dipakai untuk urusan pangan, banyak hal bisa dilakukan. Termasuk mendorong inovasi pangan lokal,” jelas Silvi.
Dari kalangan muda, Aldi Yulianda, pemilik pembibitan Muda Karya, menyuarakan semangat baru di kalangan generasi muda.
“Menjadi petani bukan soal mencari cuan semata. Yang penting bagaimana kita bisa berproduksi dan berdaya di lahan sendiri. Bahkan di lahan kurang dari satu hektare, masih bisa hidup layak kalau dikelola dengan inovatif,” kata Aldi.
SPI Sumbar menegaskan, petani tidak boleh terus-menerus ditempatkan sebagai objek kebijakan. Mereka harus menjadi subjek utama pembangunan.
“Dari hulu ke hilir, petani mesti dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tanpa itu, kedaulatan pangan hanya slogan,” tutup Rustam Efendi. (*/Yh)